CeritaSilat Jawa. Karya : SH. Mintardja Nagasasra dan Sabuk Inten, Episode : 01-05, 06-10, 11-15, 16-20 Tamat Api Di Bukit Menoreh I (Doc), Buku : 01-10, 11-20, 21 ♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian, mendung yang mengalir dari Pati masih tetap memungkinkan untuk mencurahkan hujan angin dan prahara.” Karena itulah, maka ketika Agung Sedayu kemudian berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka iapun segera menemui Glagah Putih dan Sabungsari. Ketika Agung Sedayu menanyakan kepada kedua orang anak muda itu, maka baik Glagah Putih maupun Sabungsari menyatakan keinginan mereka untuk pergi ke Tanah Perdikan. Ternyata keduanya mempunyai alasan mereka masing-masing. Justru karena Rara Wulan akan kembai ke Tanah Perdikan, maka Glagah Putih pun ingin untuk sementara tetap berada di Tanah Perdikan. Sementara Sabungsari yang masih dikuasai oleh penalarannya, maka ia memang berniat untuk meninggalkan Mataram, agar ia tidak memasuki satu lingkaran hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Meskipun dengan jujur ia harus mengakui, setidaknya kepada diri sendiri, bahwa ia memang tetarik kepada gadis yang bernama Raras itu. Tetapi justru karena itu, maka nalarnya telah mendesaknya untuk meninggalkan Mataram dan menjauhi Raras. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Kecuali jika Mataram memerlukan tenaga kami. Kami tidak akan ingkar, seandainya kami harus berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” “Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan memberitahukan kepada Ki Wirayuda, bahwa kalian berdua untuk sementara akan berada di Tanah Perdikan. Tetapi jika diperlukan akan kembali ke Mataram.” “Ya,“ Sabungsari-lah yang menyahut, “bukankah sekarang keadaan Mataram sedang tenang? Sepeninggal Ki Manuhara, agaknya orang yang disebut Resi Belahan itu tidak lagi berniat untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Mataram. Tetapi seperti kata Glagah Putih, jika diperlukan kami akan berada di Mataram kembali.” Glagah Putih memang sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Namun ia berkeras untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah barang tentu Glagah Putih tidak dapat langsung bertanya kepada Sabungsari. Tetapi Glagah Putih harus menyimpannya sebagai teka-teki yang belum terjawab. Dengan demikian maka untuk sementara Agung Sedayu telah mengambil kesimpulan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setiap saat jika diperlukan, mereka akan segera berada kembali di Mataram, yang memang tidak terlalu jauh itu. Demikinlah, maka niat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan itu pun segera disampaikan kepada Ki Tumenggung Perbarumeksa sekeluarga. Agung Sedayu memang tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya. Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Katanya, “Pasukan Khusus itu memang tidak dapat telalu lama ditinggalkan.” Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung memang tidak dapat terlalu lama menahan mereka di Mataram. Mereka menyadari tugas Agung Sedayu sebagai seorang Lurah Prajurit. Karena itu maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah Ki Lurah. Kami mengerti akan tugas Ki Lurah yang berat. Karena itu maka kami tidak dapat menahan Ki Lurah lebih lama lagi, meskipun kami merasa aman dengan kehadiran Ki Lurah, Ki Jayaraga dan anak-anak muda itu.” “Aku sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda. Ki Wirayuda akan berusaha untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Bukan saja tentang Bajang Bertangan Baja yang menerima upah untuk mengambil Rara Wulan. Tetapi juga mengamati seorang yang bernama Resi Belahan. Jika perlu, maka Ki Wirayuda akan dengan segera menghubungi kami.” “Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan baru lagi yang dapat menyulitkan kami sekeluarga, dan bahkan telah menjerat Ki Lurah dalam persoalan ini sehingga Ki Lurah terpaksa meninggalkan tugas Ki Lurah.” “Aku memang sulit untuk membedakan tugasku sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang besar, serta tugasku sebagai prajurit, karena pada keduanya terdapat persamaan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini harus terpancar kasih sayang Yang Maha Agung. Yang mempunyai kelebihan harta benda, harus ikut menanggung beban mereka yang miskin. Yang kaya akan ilmu harus mengaliri mereka yang hidup dalam kebodohan. Yang kuat harus melindungi yang lemah. Sebagaimana air di blumbang yang penuh akan tumpah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, serta akan membasahi tempat yang kering.” Ki Tumenggung Purbarumeksa hanya mengangguk-angguk saja. Namun hatinya ternyata tergetar juga mendengar kata-kata Agung Sedayu yang masih jauh lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi nampaknya pengalaman hidupnya yang luas telah membuat jiwanya menjadi matang. Namun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berdesis, “Benar Ki Lurah. Tetapi di antara citra seorang yang terpilih itu masih terdapat orang yang berbuat sebaliknya.” “Ya Ki Tumenggung. Kita memang tidak mengingkari kenyataan itu. Mudah-mudahan orang yang demikian itu semakin lama kan menjadi semakin menyusut.” “Mudah-mudahan Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini kita masih melihat kesewenang-wenangan terjadi di antara sesama. Yang kaya justru menghisap yang kekurangan. Sementara yang kuat justru berdiri di atas tubuh-tubuh yang tak berdaya. Aku tidak dapat mengatakan dimana keluargaku berdiri sekarang ini.” Agung Sedayu menari nafas dalam-dalam. Pembicaraan mereka ternyata jauh merambat ke persoalan yang lebih luas. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Asal kita masih berpegang kepada Sumber Hidup kita, maka kita tidak akan terlalu jauh tersesat, seandainya pada suatu saat kita kehilangan jalan. Setiap kali kita akan mendapat peringatan, dan lebih dari itu bimbingan, untuk menemukan jalan kita kembali,” Ki Tumenggung masih saja mengangguk-anguk. Meskipun umurnya lebih tua dan kedudukan serta pangkatnya pada dasarnya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia justru bersikap seperti seorang cantrik yang berbicara sesamanya. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Demikian pula Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan Sekar Mirah. Namun esok pagi-pagi mereka masih akan minta diri kepada Raras. Dan bagi Agung Sedayu, ia masih akan bertemu lagi dengan Ki Wirayuda. Malam itu Teja Prabawa sempat berbicara dengan Rara Wulan. Dengan memelas Raden Teja Prabawa minta agar Rara Wulan bersedia membujuk Raras untuk tidak menilainya sebagai seorang laki-laki yang lemah dan tidak bertanggung jawab. “Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiannya,” berkata Teja Prabawa. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan mencobanya Kakangmas. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa kau akan berubah. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Raras sendiri.” “Katakan kepadanya, bahwa aku akan berguru dan akan menjadi seorang yang berilmu tinggi,” berkata Teja Prabawa. “Bagi seorang perempuan, yang penting bukan laki-laki yang berilmu tinggi. Tetapi seorang laki-laki yang bertanggung jawab menurut keadaannya. Meskipun demikian, ilmu memang merupakan bekal yang sangat berarti bagi kehidupan keluarga Kakangmas kemudian. Karena itu maka biarlah aku mengatakan kesediaan Kakangmas untuk mencari bekal bagi masa depan Kakangmas,” jawab Rara Wulan. “Terima kasih Wulan,” jawab Teja Prabawa. “Tetapi kenapa Kakangmas tidak pergi menengok Raras di hari-hari terakhir ini?” bertanya Rara Wulan. “Kau tahu bahwa jalan-jalan menjadi tidak aman. Bukankah kau juga bertemu dengan Bajang Bertangan Baja itu ketika kau akan pergi mengunjungi Raras? Untunglah bahwa kau pergi bersama orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga Bajang Bertangan Baja itu tidak berani berbuat sesuatu atasmu. Coba bayangkan, bagaimana akibatnya jika aku-lah yang bertemu dengan Bajang kedil itu,” berkata Raden Teja Prabawa. “Tetapi Bajang itu telah pergi,” jawab Rara Wulan. “Bukankah ada sebuah nama lagi yang perlu mendapat perhatian?” Raden Teja Prabawa justru bertanya. “Tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raras dan dengan kita secara pribadi. Orang itu tentu membawa beban tugas yang lebih luas dari sekedar menculik gadis-gadis. Ternyata ia telah menolak bekerjasama dengan Bajang Bertangan Baja.” “Tetapi aku tidak berani, Wulan,“ Teja Prabawa akhirnya mengaku terus terang. “Itulah yang membuat Raras kecewa terhadap Kakangmas. Kenapa Kakangmas tidak berani? Bukankah menurut perhitungan, Kakangmas tidak akan mendapatkan hambatan di perjalanan? Seandainya Bajang itu masih ada, maka kemungkinan bertemu dengan orang itu pun sangat kecil. Kakangmas bisa menempuh jalan yang tidak biasa Kakangmas lalui, atau Kakangmas memilih jalan yang paling ramai. Bukankah dalam keadaan terakhir ini banyak prajurit yang meronda?” Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi memang ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi ke rumah Raras. Bahkan ia berfikir, bahwa jika ia akan pergi juga, artinya sama saja dengan jika ia membunuh diri. Ketika kemudian matahari terbit di hari berikutnya, maka mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah bersiap-siap. Namun mereka masih akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari akan meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan di rumah Ki Rangga Wibawa, sementara mereka pergi ke rumah Ki Wirayuda. Baru kemudian mereka akan singgah kembali untuk mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kedatangan Rara Wulan dan Sekar Mirah membuat Raras merasa semakin segar, meskipun ia nampak sedikit kecewa bahwa yang lain tidak singgah lebih dahulu di rumahnya. Tetapi Rara Wulan segera memberitahukan bahwa mereka nanti akan segera kembali dan singgah di rumah Raras. “Mereka sedang pergi menemui Ki Wirayuda untuk memohon diri,“ berkata Rara Wulan kemudian. “Mohon diri? Mereka akan pergi kemana?“ bertanya Raras yang menemui tamu-tamunya ditemani oleh ayah dan ibunya, serta Wacana. “Mereka dan kami berdua hari ini akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Rara Wulan. Wajah Raras tampak berkerut sejenak. Terbayang betapa jantungnya bergejolak mendengar jawab Rara Wulan itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Semuanya kalian akan kembali ke Tanah Perdikan?” “Ya,“ jawab Rara Wulan. Sementara Sekar Mirah pun menyambung, “Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah kami. Apalagi Kakang Agung Sedayu juga sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya di barak Pasukan Khusus itu.” Raras menjadi termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun berkata, “Tetapi bukankah yang lain tidak bertugas di lingkungan keprajuritan?” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dan kemudian Sekar Mirah menjawab, “Ya. Tetapi mereka mempunyai kewajibannya masing-masing di Tanah Perdikan.” Pada wajah Raras memang membayang kekecewaan hatinya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, seakan-akan kepada diri sendiri, “Siapakah yang kemudian akan melindungi aku?“ Yang menjawab adalah justru Wacana, “Raras. Di sini ada Paman dan prajurit. Bahkan aku pun bersedia dan sanggup melindungimu. Siapapun yang akan mengganggumu.” Raras berpaling kepada Wacana sejenak. Dengan ragu ia mengangguk kecil. Sementara ayahnya pun berkata, “Sudah berkali-kali aku katakan Raras. Para Prajurit itu masih ada di sini, sementara Ki Wirayuda meyakinkan, bahwa Bajang Bertangan Baja itu memang sudah tidak terlihat lagi di Mataram. Para petugas sandi melakukan tugas mereka dengan baik dan bersungguh-sungguh sehinga kita dapat mempercayainya. Jika kita kehilangan kepercayaan kepada para prajurit, maka hidup kita memang tidak akan dapat tenang. Kita akan selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran tentang kejahatan. Bukan saja sebagaimana kau alami, tetapi juga perampokan dan kekerasan-kekerasan lainnya.” Raras mengangguk pula meskpun pandangan matanya menjadi kosong. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan hilang daripadanya. Sesuatu yang justru belum pernah dimilikinya. Dengan demikian, jiwanya yang hampir tenang itu telah diguncang lagi oleh perasaan kecewa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun Raras mengeluh karena kehilangan perlindungan, namun sebenarnyalah ia merasa betapa cepatnya orang yang datang kepadanya untuk menyelamatkannya itu pergi meninggalkannya. Tetapi Raras tidak dapat mengatakanya kepada kedua orang tuanya bahwa sebenarnya ia memang merasa kehilangan. Teruatama orang yang telah langsung melidunginya di Tegal Waru. Sikap Raras pun kemudian memang berubah. Betapapun gadis itu berusaha untuk menghilangkan kesan yang muncul ke permukaan, namun orang-orang yang duduk bersamanya itu mampu menangkapnya. Justru karena itu, maka mereka pun telah menjadi gelisah pula. Sementara itu, maka Rara Wulan yang membawa pesan kakaknya, memang ingin menyampaikan kepada Raras. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi ragu. Apakah jika hal itu dikatakannya, Raras tidak justru menjadi semakin gelisah. Meskipun demikian, Rara Wulan memang mencobanya, meskipun hanya menyinggung-nyinggung serba sedikit. Ketika ia berkesempatan, maka Rara Wulan pun berkata, “Raras, Kakangmas Teja Prabawa mengirimkan salam buatmu. Ia belum dapat datang karena sesuatu hal.” Dahi Raras berkerut. Tanpa sengaja Raras telah berpaling kepada Wacana yang mendengar pesan itu sambil termangu-mangu. Baru sejenak kemudian Raras menjawab, “Terima kasih Wulan. Tetapi kenapa Raden Teja Prabawa tidak berani datang kemari? Bukankah ia tidak harus melewati bulak-bulak panjang yang sepi yang dihuni oleh kelompok-kelompok penyamun?” “Raras,“ potong ayahnya yang duduk di sebelahnya. Raras berpaling kepada ayahnya. Jawabnya, “Benar Ayah. Raden Teja Prabawa tidak memiliki keberanian untuk datang ke rumah ini. Bukannya rumah ini yang menakut-nakutinya. Tetapi ia tidak berani menempuh perjalanan yang hanya beberapa pathok itu. Bahkan di siang hari di jalan-jalan yang ramai di Kota Mataram.” “Jangan berkata begitu Raras,” tiba-tiba saja Wacana berdesis, “mungkin Raden Teja Prabawa sedang sibuk.” Raras memandang Wacana dengan tajamnya. Pandangan matanya yang aneh. Ia mendengar hal itu dari Wacana. Tetapi Wacana-lah yang kemudian justru menolak anggapan itu. Rara Wulan dan Sekar Mirah memang tidak mengerti, apa yang tersirat di sorot mata tajam Raras yang menusuk langsung ke mata Wacana. Tetapi Ki Rangga Wibawa segera mengerti dan tanggap akan sikap Wacana itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah Raras. Sikapmu akan dapat menimbulkan salah paham.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Aku yang memintakan maaf bagi Raras, Ngger.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Ki Rangga. Kami dapat mengerti perasaan Raras yang sangat kecewa, di saat ia benar-benar dicekam ketakutan.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa keluarganya berhadapan dengan orang-orang yang mampu berpikir dewasa, meskipun di antara mereka termasuk orang-orang yang masih muda. Bahkan adik dari Raden Teja Prabawa itu sendiri. Sementara itu, Raras yang sudah nampak semakin cerah, tiba-tiba telah menjadi murung lagi. Matanya menjadi redup. Ia kecewa bahwa orang-orang yang telah menolongnya itu akan meninggalkan Mataram. Tetapi iapun menjadi gelisah bahwa Wacana sikapnya terasa goyah, khususnya terhadap Raden Teja Prabawa. Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari telah bertemu dan minta diri kepada Ki Wirayuda. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengulangi kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Demikian pula mereka yang lain. Terutama Glagah Putih dan Sabungsari, yang selalu siap untuk berada di antara anak-anak Gajah Liwung. “Baiklah,“ berkata Ki Wirayuda, “mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi di Mataram dalam hubungannya dengan Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan.” “Yang masih tetap menjadi teka-teki adalah Resi Belahan,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kami akan berhati-hati menanganinya,“ berkata Ki Wirayuda. “Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sudah memberikan isyarat untuk meningkatkan kewaspadaan.” Dengan demikian maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun segera minta diri. Mereka masih harus singgah di rumah Ki Rangga Wibawa untuk minta diri dan mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kepada Ki Wirayuda, Sabungsari sempat menitipkan anak-anak Gajah Liwung yang untuk sementara masih harus ditinggakannya. “Seandainya,“ berkata Ki Wirayuda, “seandainya tidak ada masalah lagi di Tanah Perdikan Menoreh, bukankah Sabungsari dan Glagah Putih dapat segera kembali ke Mataram tanpa harus menunggu timbulnya persoalan di sini?” Sabungsari tersenyum. Katanya, “Tentu Ki Wirayuda. Kami akan merasa lebih tenang berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya Sabungsari mengeluh. Perkenalan dengan Raras telah membuatnya seperti orang yang kebingungan. Ia harus mempertentangkan perasaannya dengan penalarannya. Sabungsari tidak dapat ingkar bahwa ia tertarik kepada Raras. Tetapi iapun mengerti bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa. Ketika keempat orang itu memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa, maka wajah Raras yang murung itu telah menjadi sedikit terang. Bahkan tanpa disadari, Raras telah ikut bersama ayah dan ibunya bangkit berdiri dan menyongsong tamu mereka di tangga pendapa. Wacana yang semula masih saja duduk bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah bangkit pula untuk ikut menyambut keempat orang tamu itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah duduk pula di pendapa, sementara Nyi Rangga beringsut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya. Nyi Rangga bahkan terkejut ketika ternyata Raras menyusulnya ke dapur dan berkata, “Biarlah aku yang menyuguhkan hidangan itu, Ibu.” “Kau tidak apa-apa?“ bertanya ibunya. “Tidak Ibu. Aku tidak apa-apa,” jawab Raras. Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya itu memang sulit dimengerti. Mungkin karena jiwanya itu belum tenang benar, atau mungkin karena persoalan lain. Baru saja wajahnya yang mulai cerah telah menjadi murung kembali. Namun tiba-tiba saja Raras menjadi seakan-akan tidak sedang dipengaruhi oleh ketidak-seimbangan jiwanya. “Atau justru akibat ketidak-seimbangan jiwa itu Raras menjadi semakin sulit dimengerti?” pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Nyi Rangga. Tetapi Nyi Rangga tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Raras untuk menyuguhkan hidangan-hidangan bagi tamu-tamunya yang ada di pendapa. Ketika kemudian Raras dan Nyi Rangga telah duduk kembali di pendapa, maka Agung Sedayu, mewakili mereka yang datang bersamanya, mohon diri kepada Ki Rangga dan keluarganya untuk hari itu juga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Rencana itu sudah didengar sebelumnya dari Rara Wulan. Dengan nada dalam Ki Rangga Wibawa berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk menahan kalian, maka aku akan mencoba untuk memperpanjang keberadaan kalian di Mataram. Tetapi karena aku tidak mempunyai wewenang itu, maka aku tidak dapat berbuat apa-apa.” “Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh Ki Rangga,” berkata Agung Sedayu, “kami tentu akan selalu mondar-mandir antara Tanah Perdikan dan Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Kami berharap bahwa kalian akan selalu singgah di rumah ini dalam setiap kesempatan,“ minta Ki Rangga. “Ya Ki Rangga. Rumah ini sudah menjadi bagian dari lingkungan kekeluargaan kami. Karena itu kami akan selalu berusaha untuk dapat selalu singgah meskipun sebentar.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih Ki Lurah, terima kasih. Aku kira meskipun setiap kejap aku mengucapkan terima kasih, namun tentu masih belum cukup.” “Itu sudah berlebihan Ki Rangga. Berkali-kali aku katakan, bahwa apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami,” jawab Agung Sedayu. Demikianlah, setelah mereka berbincang sejenak, maka Agung Sedayu dan yang lain pun telah minta diri. Bukan saja untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Wajah Raras telah menjadi murung kembali. Seperti langit yang tiba-tiba saja disaput oleh mendung. Semakin lama menjadi semakin kelabu. Ketika Rara Wulan kemudian turun ke tangga pendapa dan di sisinya Raras berdiri termangu-mangu, Rara Wulan sempat berdesis, “Kakangmas Teja Prabawa tentu akan segera datang. Ia akan mengatasi perasaan takutnya.” Tetapi jawab Raras dingin, “Mudah-mudahan. Tetapi maafkan aku Wulan. Aku sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa.” “Ia berjanji akan berubah,“ sahut Wulan perlahan. “Sampai kapan aku harus menunggu perubahan itu? Aku sudah terlalu tua untuk menunggu ia berguru lagi,“ jawab Raras. Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kasihan kepada kakaknya. Tetapi ia juga merasa kasihan kepada Raras. Namun ternyata Rara Wulan telah melemparkan sebab dari segala kerumitan itu pada Raden Antal, sehingga ia semakin benci kepada anak muda itu. Sejenak kemudian maka kelompok kecil tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan regol rumahnya. Seisi rumah itu telah mengantar mereka sampai ke regol. Sabungsari yang ada di antara mereka tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ia justru sering menundukkan kepalanya saja. Hanya sekali-sekali ia menyambung pembicaraan. Selebihnya ia hanya diam saja. Tetapi beberapa langkah dari regol, ternyata Sabungsari berpaling. Di luar niatnya, maka Raras pun sedang memandanginya pula, sehingga tiba-tiba saja keduanya telah menunduk. Seperti yang direncanakan, hari itu Agung Sedayu dengan kelompok kecilnya telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah dan Rara Wulan berkuda di paling depan, sedangkan Sabungsari berada di paling belakang. Ia memang lebih banyak berdiam diri dan seakan-akan menyendiri. Rara Wulan pun nampaknya banyak merenung pula meskipun tidak di sepanjang perjalanan. Namun kadang-kadang ia merenungkan kakaknya yang mulai tersisih dari hati Raras. Justru karena ia dapat mengerti perasaan Raras dan dapat pula mengerti kepahitan perasaan kakaknya, maka hatinya pun ikut merasakan kegelisahan mereka. Dalam pada itu, sepeninggal adiknya, ternyata Teja Prabawa itu merasakan betapa rumahnya menjadi sepi. Jika adiknya itu ada di rumah, seakan-akan setiap saat mereka itu selalu bertengkar. Tetapi jika adiknya itu pergi, maka Raden Teja Prabawa itu pun merasa semakin sendiri, justru karena sikap Raras kepadanya. Sebelum Rara Wulan meninggalkan rumahnya, maka Rara Wulan serba sedikit telah memberitahukan kepada kakaknya itu. Tetapi Rara Wulan tidak sampai hati untuk mengatakan sebagaimana dikatakan Raras. Ia masih berusaha untuk memperlunaknya, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya dapat menunda kekecewaan saja. Ki Lurah Branjangan yang berada pula di dalam iring-iringan itu juga tidak banyak bicara. Sebagai seorang kakek, ia dapat merasakan betapa Teja Prabawa mengalami goncangan perasaan mirip seperti Raras sendiri. Beberapa lama mereka berkuda, maka mereka pun telah menuruni jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Ternyata mereka memilih menyeberang di penyeberangan sebelah selatan yang agak lebih ramai. Beberapa buah rakit tersedia di sisi sebelah barat dan timur Kali Praga. Ternyata bahwa kelompok kecil orang-orang berkuda itu tidak dapat berada di satu rakit. Sebuah rakit yang siap menyeberang hanya muat tiga orang di antara mereka bersama kudanya. Selebihnya harus mempergunakan rakit yang lain. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan-lah yang lebih dahulu yang menyeberang, bersama-sama dengan beberapa orang yang telah lebih dulu di atas rakit itu. Seorang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal sempat menggerutu, “Kuda-kuda itu sangat mengganggu. Baunya aku tidak tahan.” Agung Sedayu yang duduk tidak terlalu jauh dari oprang itu berdesis, “Kami mohon maaf Ki Sanak. Kami tidak mempunyai cara lain untuk menyeberang.” “Sebaiknya kalian mempergunakan rakit khusus. Tidak bersama-sama dengan penumpang rakit yang lain.” “Aku mengerti Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. “Apalagi bersama dengan perempuan-perempuan yang berpakaian tidak sewajarnya itu,“ katanya pula. Beberapa orang penumpang yang lain memang sedang memandangi pakaian Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang memakai pakaian khususnya karena mereka menempuh perjalanan berkuda. Wajah Rara Wulan menjadi gelap. Tetapi Sekar Mirah yang lebih tua hanya tersenyum saja. Ia sudah terlalu sering mendengar suara-suara sumbang seperti itu, sehingga akhirnya Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus itu masih berkata, “Sebenarnya kedua perempuan itu cantik. Tetapi kenapa mereka tidak berpakaian dan berias seperti perempuan yang lain?” Agung Sedayu yang menjawab dambil tersenyum, “Sejak kecil mereka senang berpakaian seperti laki-laki. Mereka senang menunggang kuda dan bahkan melakukan perbuatan-perbuatan lain seperti seorang laki-laki. Perempuan yang lebih tua itu adalah seorang tukang blandong. Ia menerima upah untuk menebang pohon-pohon besar dimanapun. Kemudian memotong-motongnya dan membelahnya. Karena itu, maka ia memiliki kekuatan dan bentuk tubuh seorang laki-laki.” “Dan keluarganya tidak melarangnya?” bertanya orang itu. “Aku kakaknya. Aku senang ia dapat membantu aku,” jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, “Aku tidak percaya. Pakaianmu bukan seorang blandong.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tentu tidak, karena kami baru saja mengunjungi saudara kami yang sedang menyelenggarakan peralatan. Apakah dalam peralatan kami berpakaian seperti tukang blandong?” Orang berpakaian rapi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang Rara Wulan ia bertanya, “Apakah ia juga tukang blandong?” “Ia baru belajar. Adikku yang bungsu itu mempunyai kebiasaan seperti kakaknya juga,” jawab Agung Sedayu. Tetapi orang berpakaian rapi itu berkata, “Tukang blandong tidak akan memiliki seekor kuda seperti kudamu itu. He, kau jangan mempermainkan aku ya?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah bahwa keduanya memiliki sifat sebagai laki-laki.” Orang berpakaian rapi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir tidak berkedip ia selalu memandangi Rara Wulan, sehingga Rara Wulan akhirnya menyadari pandangan mata laki-laki itu, sehingga ia harus berputar dan duduk membelakanginya. Orang itu memang diam, meskipun ia masih saja memandang penggung Rara Wulan. Sikap itu ternyata membuat Sekar Mirah dan Agung Sedayu berdebar-debar. Mungkin saja bahwa persoalan itu akan berkembang setelah mereka turun dari rakit di seberang. Untuk beberapa saat mereka yang ada di atas rakit itu saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafas para tukang satang yang bekerja keras mengayuh rakit itu ke seberang. Tidak jauh di belakang rakit itu, sebuah rakit yang lain juga tengah menyeberang. Di atas rakit itu duduk beberapa orang yang menyeberang bersama dengan kuda tunggangan mereka. Beberapa saat kemudian rakit itu pun telah merapat di tepian sebelah barat. Para penumpangnya segera berloncatan turun. Demkian pula Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Agung Sedayu yang telah hampir melupakan orang berpakaian rapi dan mahal itu, tiba-tiba terkejut ketika orang itu menggamitnya. Hampir berbisik orang itu bertanya, “He, apakah kedua adikmu itu sudah bersuami?” Pertanyaan itu memang mengejutkan Agung Sedayu. Ia melihata sorot mata yang liar di mata orang yang terbungkus oleh pakaian yang rapi dan dibuat dari bahan yang mahal itu. Tetapi Agung Sedayu tidak berubah sikapnya. Iapun kemudian menjawab, “Sudah Ki Sanak. Kedua-duanya sudah bersuami.” “Dimana suaminya?” bertanya orang itu pula. “Di rumah,” jawab Agung Sedayu singkat. “Dimana rumahnya?” bertanya orang itu selanjutnya. “Di Mataram. Keduanya istri prajurit. Lihat, lihat bagaimana ia mengenakan pakaian. Mereka meniru pakaian suami mereka,” jawab Agung Sedayu. Ia berharap dengan demikian maka orang itu tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ternyata perhitungan Agung Sedayu keliru. Orang itu tiba-tiba berkata, “Mumpung suami mereka tidak ada. He, aku mempunyai sepasang gelang bermata berlian. Aku akan memberikan kepada mereka berdua.” “Ki Sanak,” Agung Sedayu benar-benar tersinggung, “sebaiknya Ki Sanak jangan membuat kami merasa tersinggung. Kami orang baik-baik yang sudah tentu tidak ingin mendengar kata-kata Ki Sanak seperti itu.” Tetapi orang itu tertawa. Ketika ia berpaling sambil mengangguk, maka dua orang bertubuh raksasa mendekatinya. Sambil bertolak pinggang orang itu bekata, “Aku tidak memaksa Ki Sanak. Jika kalian keberatan, apa boleh buat. Tetapi jangan menjawab kasar begitu. Kau harus tahu dengan siapa kau bebicara sekarang ini.” “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kami akan meneruskan perjalanan kami. Itu, kawan-kawan kami sudah turun pula dari rakit mereka.” Orang itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang meloncat turun. Kemudian menarik kendali kuda turun dari rakit pula. Sejenak orang itu termangu-mangu. Dua orang yang bertubuh raksasa yang tadi juga berada di rakit yang sama, berdiri tegak sambil menggenggam hulu parang mereka yang besar. Orang berpakaian rapi itu mengerutkan dahinya. Orang yang berkuda itu memang membuatnya berpikir ulang. Bukan karena mereka menggetarkan jantungnya. Tetapi justru ia berdesis, “Apakah aku harus membunuh sekian banyak orang?” Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga, karena ia mengira bahwa orang itu tentu tidak bersungguh-sungguh. Mungkin hal itu hanya lontaran ungkapan kejengkelannya saja. Karena itu maka Agung Sedayu pun kemudian telah menarik kudanya sambil berkata kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Marilah. Kita pergi saja. Kita sudah terlalu siang berangkat.” Tetapi Agung Sedayu justru telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan yang sangat lemah sekalipun dari orang yang berpakaian mahal itu. Ternyata orang yang umurnya sudah separuh baya telah berdiri di sebelahnya sambil berkata, “Kau jangan berbuat sekehendakmu sendiri. Pamanmu Resi tidak senang dengan tingkah lakumu itu. Biarkan mereka pergi.” Tetapi orang berpakaian rapi itu menjawab, “Paman Resi tidak akan mengurusi persoalanku dengan perempuan.” “Tetapi kau datang bersamanya untuk kepentingan tertentu. Ingat, bahwa Kakang Resi tidak senang melihat orang yang pernah datang mendahuluinya terlibat dalam persoalan pribadi, khususnya perempuan, sehingga ia sama sekali tidak bersedia membantunya sampai orang itu terbunuh.” Pembicaraan itu memang sangat menarik perhatian Agung Sedayu, yang dapat mendengarnya meskipun hanya sebagian. Tetapi jelas baginya bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan seorang yang disebut Paman Resi. Dengan cepat Agung Sedayu menghubungkan sebutan itu dengan nama seseorang yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang Mataram. Resi Belahan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berbalik. Demikian cepat sehingga seseorang tidak sempat berpikir tentang sikapnya itu. Kepada orang yang separuh baya itu Agung Sedayu bertanya, “Kau adik Resi Belahan?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya, “Siapakah kau?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahwa orang itu tidak menjawab dengan serta merta bahwa ia tidak mengenal Resi Belahan atau dengan tegas menolak pertanyaan Agung Sedayu itu, telah memperkuat dugaan Agung Sedayu, bahwa orang-orang itu mempunyai sangkut paut dengan Resi Belahan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Mataram. Apalagi orang itu telah menyebut tentang orang yang mendahului mereka telah terbunuh. Agung Sedayu menduga bahwa yang dimaksud tentu Ki Manuhara. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang orang-orang itu dengan tajamnya. Orang yang umurnya separuh baya, orang yang berpakaian rapi dari bahan-bahan yang mahal namun matanya menyala dengan liar. Kemudian dua orang raksasa yang agaknya pengawal orang yang berpakaian rapi itu. Agung Sedsayu yang memiliki ingatan yang sangat tajam itu seakan-akan telah mengukir wajah-wajah itu di dinding jantungnya, sehingga untuk seterusnya ia tidak akan dapat melupakannya. Baru sejenak Agung Sedayu itu pun berkata, “Baiklah, aku minta diri untuk meneruskan perjalananku. Aku akan mengantarkan adik-adikku dan kawan-kawanku itu.” Orang yang berpakaian rapi itu sudah akan bergerak, namun orang yang separuh baya telah menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan membuat persoalan tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita tidak boleh terjebak seperti orang yang telah mati itu, yang melibatkan diri dalam persoalan yang seharusnya tidak ditangani.” “Tetapi orang itu justru bertanya tentang Paman Resi,” berkata orang berpakaian rapi itu. Orang yang separuh baya itu baru menyadarinya. Karena itu, maka iapun berdesis, “Apa yang sebaiknya kita lakukan?” “Sebelum orang itu sempat berbicara kepada kawan-kawannya, orang itu harus dibunuh. Mungkin ia mendengar pembicaraan kita selagi ia melangkah pergi. Agaknya kita berbicara terlalu keras, sehingga ia mendengar aku atau Paman menyebut Paman Resi.” Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu. Namun katanya, “Itu tidak perlu. Mereka mempunyai beberapa orang kawan.” “Bagaimana dengan pengenalannya atas Paman Resi?” “Ia hanya menyebut nama Kakang Resi Belahan. Tetapi orang itu tentu belum pernah melihat Kakang Resi itu. Sedangkan orang-orang Mataram juga sudah tahu bahwa Kakang Resi ada di Mataram beberapa saat yang lalu. Bahkan hampir saja Kakang Resi itu terjebak.” “Jika demikian, apakah orang itu termasuk orang penting di Mataram?” orang berpakaian rapi itu bertanya. “Menurut pengakuannya, kedua perempuan itu adalah istri prajurit. Mungkin ia pernah mendengar dari suami kedua perempuan itu.” “Kedua perempuan itu cantik,” desis orang yang berpakaian rapi dan mahal itu. Orang yang sudah separuh baya itu menggeleng kecil sambil berkata, “Jaga dirimu baik-baik dengan kelemahanmu itu. Kau dapat terjerat sebagaimana Ki Manuhara, meskipun dengan maksud yang berbeda.” Orang yang berpakaian bagus dan mahal itu tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Katanya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku memerlukan mereka berdua.” “Tetapi jika itu membatalkan semua rencana pamanmu Resi, maka kau tahu akibatnya.” Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, “Apakah Paman menyangsikan ilmuku?” “Siapa yang menyangsikan ilmu Ki Manuhara sebelumnya?“ orang yang sudah separuh baya itu bertanya pula. Orang berpakaian rapi dan mahal itu tidak menjawab. Namun sekilas orang itu memandang Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berdiri di antara beberapa orang laki-laki yang menuntun kuda mereka masing-masing. Adalah di luar dugaan orang yang berpakaian mahal itu, ketika ternyata Rara Wulan juga berpaling kepadanya. Bahkan kemudian nampak gadis itu tertawa. “Setan betina,” geram orang yang berpakaian rapi itu, “perempuan itu memanggilku.” “Tidak. Ia tidak memanggilmu. Yang memanggilmu justru iblis yang akan menelanmu ke dalam jebakannya.” Orang yang berpakaian bagus itu memang mengurungkan niatnya untuk mendekati Rara Wulan. Orang itu sebenarnya tidak tahu sama sekali, bahwa Agung Sedayu sengaja minta agar Rara Wulan mengganggunya. Katanya hampir berbisik, “Pancing orang itu, agar kita dapat bertemu atau setidak-tidaknya berhubungan lagi. Orang itu akan dapat menjadi jembatan kita menuju kepada orang yang bernama Resi Belahan itu.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi wajah Glagah Putih menjadi gelap. Agaknya ia tidak sependapat dengan cara yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Kenapa kita tidak membuat satu persoalan agar kita dapat berselisih dengan orang itu? Bukankah akibatnya akan sama saja? Orang itu dan mungkin Resi Belahan akan mencari kita.” “Tetapi perselisihan itu sendiri akan dapat berkembang. Akibatnya mungkin tidak kita duga sebelumnya. Bagaimana jika orang itu terbunuh? Bukankah kemungkinan itu dapat terjadi, karena orang itu tentu juga orang berilmu tinggi?” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, bahwa Glagah Pitih tidak ingin Rara Wulan dipergunakan untuk memancing orang itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.” Sejenak kemudian, maka sekelompok kecil orang-orang berkuda itu pun segera meneruskan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara orang berpakaian bagus itu masih berdiri di tepian. Orang itu terkejut ketika seorang tukang satang bertanya, “Apakah Ki Sanak belum mengenal mereka?” “Belum,” jawab orang itu, “apakah kau mengenalnya?” orang itu tiba-tiba berharap. “Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sering menyeberang.” “He,” orang itu semakin tertarik, “siapa namanya? Dan apakah kau juga mengenal kedua perempuan itu?” “Aku tidak banyak mengenal mereka. Tetapi yang aku tahu mereka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih, kau sangat baik.” Di luar dugaan tukang satang itu, maka orang yang berpakaian mahal itu telah mengambil beberapa keping uang dan diberikan kepada tukang satang itu, “Terima kasih atas keteranganmu.” Tukang satang itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak.” Orang yang sudah separuh baya itu menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, bahwa orang yang berpakaian rapi itu tentu akan mencari kedua perempun itu di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Namun iapun memperingatkan, “Kita juga bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Hati-hatilah. Jangan sampai tugas kita gagal hanya karena kedua perempuan itu. Kau dapat mencari ganti berapa saja kau ingin, kelak jika tugas itu sudah selesai.” “Baik Paman. Tetapi senyum perempuan itu membuat aku gila,“ jawab orang itu. “Kau memang gila,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya itu, “tetapi kegilaanmu itu jangan sampai merusak segala rencana yang sudah disusun oleh Resi Belahan.” Orang itu tertawa. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi Paman. Aku akan dapat mengatur segala-galanya.” “Tetapi kegilaanmu itu kadang-kadang tidak terkendali,” berkata orang separuh baya itu. Orang berpakaian bagus dan rapi itu hanya tertawa saja. “Marilah,” berkata orang separuh baya. Lalu katanya kepada kedua raksasa yang mengawal orang berpakaian bagus itu, “Kau harus ikut mencegah setiap langkahnya yang kurang menguntungkan bagi rencana kita. Kau orang-orang tua, jangan hanya menurut saja seperti orang-orang dungu.” Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi pada wajah mereka memang nampak betapa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir. Yang terpancar dari matanya bukan kecerdikan mereka serta ketajaman akal budi, tetapi seperti sorot mata seekor srigala yang lapar. Orang yang sudah separuh baya itu tiba-tiba membentak, “He, kau dengar kata-kataku?” Dengan gagap kedua orang itu menyahut hampir berbarengan, “Ya. Ya aku dengar.” Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal itu tertawa. Katanya, “Paman masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak.” “Sudahlah,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya. “Orang-orang berkuda itu sudah hilang dari pandangan kita. Marilah kita meneruskan perjalanan. Menurut penglihatanku, orang-orang bekuda itu tentu orang-orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan. Biarlah aku mencari keterangan tentang mereka. Orang-orang kita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram tentu akan dapat memberikan keterangan. Tetapi ingat, jangan merusak segala-galanya.” Orang yang bermata liar tetapi terbungkus oleh pakaian yang bagus itu tertawa berkepanjangan. Namun mereka kemudian telah meninggalkan tepian. Sementara orang separuh baya itu masih berdesis, “Tanah Perdikan adalah ladang yang harus kita garap sebelum Mataram mulai dicangkul.” Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya menyusuri jalan yang langsung menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Di perjalanan mereka tidak terlalu banyak berbincang. Mereka seakan akan telah tenggelam dalam persoalan mereka masing-masing. Tetapi Sabungsari memang tidak begitu memikirkan orang-orang yang ditemui di tepian itu. Pikirannya kadang-kadang masih tersangkut di rumah Ki Rangga Wibawa. Meskipun ia sudah bertekad untuk tidak akan menemui Raras lagi, tetapi wajah gadis itu masih saja sering melintas di angan-angannya. Tetapi sekali-kali Sabungsari itu sempat juga mengingat bahwa umurnya telah menjadi semakin tua. Meskipun ujudnya masih tidak berselisih jauh dari Glagah Putih, tetapi umurnya terpaut agak banyak. “Meskipun demikian, tentu bukan alasan untuk mengganggu keakraban hubungan antara dua orang yang telah mengarah pada satu kehidupan berkeluarga,” kata Sabungsari kepada dirinya. Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berkuda di paling depan masih sempat sekali-kali berbincang. Dengan senyum kecil Sekar Mirah berkata, “Rara, aku yakin bahwa orang itu akan mencarimu sampai ketemu di seluruh Tanah Perdikan ini.” Rara Wulan pun tersenyum pula. Katanya, “Bukan hanya aku, orang itu akan mencari Mbokayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak marah. Sementara nampaknya Glagah Putih tidak senang kau tersenyum dengan orang itu.” “Bukankah aku hanya tersenyum saja?“ desis Rara Wulan, “Biarlah Kakang Agung Sedayu yang mempertanggung jawabkan.” Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Glagah Putih tentu tidak benar-benar marah. Ia hanya tidak setuju dengan cara yang dipilih Kakang Agung Sedayu.” Rara Wulan pun tertawa. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Jadi, kita dapat mengerti betapa Raden Antal hampir menjadi gila karena Rara Wulan tidak menghiraukanya.” “Ah Mbokayu,” desis Rara Wulan. Lalu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu waktu itu?” “Tidak ada masalah,” jawab Sekar Mirah sambil tertawa pula. Ternyata Rara Wulan juga tertawa semakin keras. Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang berkuda di belakangnya tidak mendengar yang mereka bicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu tertawa. Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itulah, maka perjalanan mereka mulai tersendat. Orang-orang yang sedang berada di sawah telah menyapa mereka yang sudah beberapa lama tidak nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan ramah mereka yang baru kembali ke Tanah Perdikan itu menjawab setiap pertanyaan, agar tidak mengecewakan orang-orang yang seakan-akan telah menyambut kedatangan mereka itu. Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka mereka pun menjadi sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan sapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengenal mereka dengan baik. Terlebih-lebih lagi jika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang cukup ramai. Beberapa saat kemudian maka mereka pun telah memasuki padukuhan induk. Namun Agung Sedayu minta agar mereka langsung pergi menghadap Ki Gede untuk melaporkan kedatangan mereka. “Daripada nanti kita harus pergi lagi setelah kita pulang,” berkata Agung Sedayu. Ternyata yang lain pun sependapat. Jika mereka sudah sampai di rumah, agaknya mereka akan malas untuk segera pergi lagi, meskipun hanya untuk menghadap Ki Gede. Ki Gede yang kebetulan ada di rumah, menyambut mereka dengan senang hati. Dengan kehadiran mereka kembali di Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya keadaan akan menjadi semakin tenang. Tetapi dalam pertemuan itu pula Agung Sedayu telah melaporkan, bahwa beberapa orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka orang-orang yang baru, sepeninggal Ki Manuhara yang telah terbunuh di dekat susukan Kali Opak. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Kami mohon maaf Ki Gede. Mungkin pesoalan itu masih menyangkut keberadaan kami di Tanah Perdikan ini.” “Tidak ada yang salah dalam hal ini Ngger,“ sahut Ki Gede, “apa yang kita lakukan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri semata-mata. Yang kita lakukan akan memberikan arti bagi kampung halaman khususnya, dan Mataram pada umumnya.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia sudah melaporkan segala-galanya yang terjadi di Mataram, sehingga Ki Gede mempunyai pandangan yang jelas dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki Perdikan Menoreh. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayu pun telah minta diri bersama-sama dengan sekelompok orang yang datang bersamanya. “Kami akan beristirahat dahulu Ki Gede. Besok kami akan menghadap lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gede pun telah memanggil Prastawa untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang yang harus diawasi di Tanah Perdikan. “Perintahkan para pengawal untuk semakin berhati-hati. Yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh sepengetahuan Agung Sedayu ada empat orang,“ berkata Ki Gede. “Baik Ki Gede,“ jawab Prastawa. Ki Gede pun telah memberikan beberapa ciri-ciri dari keempat orang itu sesuai dengan keterangan Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Kau dapat bertemu sendiri dengan Angger Agung Sedayu atau Glagah Putih. Kau dapat menanyakan langsung kepada merekam ciri-ciri orang yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan niat yang kurang baik itu.” “Baik Paman,“ jawab Prastawa, “aku akan menghubungi mereka dan para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.” Seperti biasanya maka Prastawa pun bekerja dengan cepat. Hari itu juga Prastawa telah memanggil para pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan. Bahkan Prastawa juga memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memberikan penjelasan langsung kepada mereka. Sementara Tanah Perdikan Menoreh mempersiapkan diri menghadapi persoalan yang masih saja rumit, di Mataram, Raras merasa hari-harinya semakin sepi. Raden Teja Prabawa sudah tidak menarik lagi baginya. Apalagi Wacana selalu berkata kepadanya, bahwa anak-anak muda seperti Teja Prabawa tidak dapat di harapkan untuk dapat membahagiakannya. “Dalam keadaan yang sulit, Raden Teja Prabawa tentu akan meninggalkan tanggung jawab,” berkata Wacana tidak hanya sekali dua kali. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa memang menjadi semakin cemas melihat perkembangan sikap Wacana. Ia nampak hampir selalu berada di dekat Raras. Bahkan ketika Raras sudah mau duduk di serambi seorang diri, Wacana masih saja ingin menemaninya. Ia tidak berusaha melatih agar Raras menemukan keberaniannya kembali. Sedang menurut penglihatan kedua orang tua Raras, persoalan yang membuat Raras sering merenung telah bergeser dari persoalan yang semula. Raras tidak lagi selalu dibayangi oleh ketakutan. Tetapi ia masih saja nampak selalu murung. Tetapi Ki Rangga Wibawa masih belum sampai hati untuk berbicara langsung dengan Raras maupun dengan Wacana. “Ki Rangga,“ desis Nyi Rangga ketika ia sempat berbincang dengan suaminya, “bagaimana menurut pertimbangan Ki Ranga tentang Raras? Aku melihat semakin jelas sesuatu yang lain dalam pandangan mata Wacana terhadap adiknya.” “Aku juga menjadi gelisah, Nyi,“ berkata Ki Rangga Wibawa. “Jika Raras mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa, maka kita akan mengalami kesulitan lagi. Raras telah dibebaskan dari tangan-tangan orang yang menculiknya oleh keluarga atau orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Raden Teja Prabawa. Jika benar dugaan kita bahwa benar ada hubungan antara Raras dan Wacana, maka persoalannya bukan saja persoalan kecil.” “Apalagi mereka masih ada hubungan darah,” berkata Nyi Rangga. “Seandainya soal itu dapat kita kesampingkan, persoalan lebih besar akan dapat menerpa keluarga kita. Bahkan mungkin akibatnya lebih parah daripada yang pernah terjadi dengan Raras. Orang-orang yang telah membebaskan Raras adalah orang-orang berilmu sangat tinggi. Mereka berhasil mengalahkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Bayangkan, jika mereka marah dan berbuat sesuatu atas kita.” “Apakah sebaiknya kita berterus terang kepada Raras?” bertanya Nyi Rangga. “Kita akan menunggu beberapa saat lagi. Jika kesempatan itu datang, maka kita memang harus berterus terang. Apapun yang akan terjadi, kita memang harus memberitahukan kepada Tumenggung Purbarumeksa. Itu tentu akan lebih baik daripada Ki Tumenggung mendengar dari orang lain,” jawab Ki Rangga meskipun ragu. Tetapi Raras sendiri semakin lama merasa betapa dunianya menjadi semakin sunyi. Kehadiran Wacana hampir di setiap saat tidak dapat mengisi kesunyian di hatinya itu. Hampir setiap saat Raras selalu diganggu oleh bayangan seorang laki-laki yang berilmu tinggi, yang telah melindunginya langsung di saat ia berada di dekat susukan Kali Opak. Raras merasa perasaannya menjadi sangat tenang jika ia berada di dekat orang itu. Tetapi orang itu sudah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, tanpa diketahui kapan ia akan datang lagi. Semakin lama perasaan yang bergejolak di hatinya itu terasa menekan jantungnya. Pandangannya terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar sedah berubah. Ia sependapat dengan Wacana, bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang akan dapat melindunginya. Tetapi satu hal yang sama sekali menyimpang dari keinginan Wacana. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa dengan perlahan-lahan. Tetapi Raras tidak bergeser dari Raden Teja Prabwa, yang dinilainya tidak mampu melindunginya itu, kepadanya. Kepada Wacana. Meskipun setiap kali Wacana selalu menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perguruannya, dan tentang apa saja yang sudah diperoleh dari perguruannya itu. Raras memang menjadi heran ketika Wacana menunjukkan kepadanya betapa besar kekuatannya. Dengan kekuatan tangannya Wacana telah membengkokkan besi gligen. Bahkan kemudian dengan tangannya pula mampu memanasi batang besi itu sehingga benar-benar menjadi panas. Tetapi sikap Raras kepadanya tidak berubah. Sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan Wacana tidak mampu membuat wajah Raras menjadi tenang. Gadis itu masih saja tetap murung dan merasa dunianya sunyi. “Raras,“ berkata Wacana pada suatu saat, “seharusnya kau sudah berubah. Aku lihat kau sudah menjadi semakin menemukan dirimu sendiri. Kau tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Kau sudah berani duduk sendiri di serambi. Bahkan kau sudah sering berada di dapur. Tetapi kenapa kau masih tetap murung? Wajahmu gelap, pandangan matamu menerawang ke tempat yang tidak pasti. Apa sebenarnya yang kau simpan di dalam hatimu? Apakah kau masih berharap Raden Teja Prabawa itu datang kepadamu? Menurut penglihatanku, ketika Raden Teja Prabawa datang kemari, kau tidak lagi menanggapinya sebagaimana sebelumnya, karena agaknya kau dapat mengerti bahwa Raden Teja Prabawa tidak akan dapat kau jadikan tempat untuk berlindung.” Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Hidupku memang sepi Kakang.” “Kenapa? Kau dapat mengisi hari-harimu dengan apa saja yang kau inginkan. Mungkin sekali-sekali kau ingin keluar rumah dengan perasaan tenang tanpa ketakutan,“ desis Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Namun ia kemudian mengangguk kecil sambil berkata, “Ya Kakang. Sekali-sekali aku memang ingin berjalan-jalan. Aku tidak dapat terus-menerus seperti hidup dalam penjara meskipun di rumahku sendiri.” “Kenapa tidak kau katakan sejak awal? Bukankah aku dapat menemanimu kemanapun kau ingin pergi, tanpa merasa takut? Aku akan dapat melindungimu lebih dari siapa saja. Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain. Bahkan dengan Bajang Bertangan Baja sekalipun.” Raras mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan tatapan matanya justru menjadi semakin menerawang jauh sekali. “Raras, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Jika kau masih merindukan Raden Teja Prabawa, biarlah aku memanggilnya. Tetapi seperti yang sudah sering aku katakan, laki-laki seperti Raden Teja Prabawa itu tidak akan banyak berarti bagi seorang perempuan, karena dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi ayahnya masih berkuasa, mungkin Ki Tumenggung dapat memerintahkan sekelompok prajurit penjaga dan melakukan tugas-tugas yang seharusnya bukan tugas prajurit. Tetapi apakah selamanya ia akan menggantungkan diri pada keadaan seperti itu?” Raras menggeleng lemah. Dengan nada dalam ia menjawab, “Tidak Kakang. Aku tidak lagi memikirkan Raden Teja Prabawa.” “Nah, jika demikian tidak seharusnya kau menjadi murung seperti itu. Kau harus mulai memasuki duniamu yang wajar. Tanpa ketakutan dan kecemasan. Pergilah kemana saja yang kau ingini. Aku akan melindungimu,“ berkata Wacana. Raras menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Kakang. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya. Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian. Tetapi aku tidak akan terlalu bergantung kepadamu untuk seterunya.“ “Kenapa tidak Raras? Bukankah aku ini kakakmu? Dan lebih dari itu, aku dapat kau minta untuk melakukan apa saja,” berkala Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Dengan mata yang redup ia berkata, “Aku mengerti Kakang. Akupun merasa bahwa aku hanya dapat mengeluh dan bahkan menyampaikan gejolak di dalam hatiku kepadamu. Aku tidak dapat mengatakanya kepada Ayah dan Ibu, karena setiap kali Ayah dan Ibu masih saja menyebut nama Raden Teja Prabawa.” Jantung Wacana menjadi berdegup semakin cepat. Dengan serta merta ia berkata, “Katakan Raras. Aku mengerti sepenuhnya persaanmu.” “Kakang,“ berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar, “aku sudah tidak dapat memaksa diri untuk bergantung kepada Raden Teja Prabawa.” Wajah Wacana pun menegang. Dengan suara yang sedikit bergetar ia berkata, “Kau sebaiknya berterus terang Raras. Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan bersedia berbuat apa saja bagimu. Aku bukan sekedar kakakmu. Tetapi aku adalah orang yang akan bersedia melindungimu. Bahkan seterusnya.” “Terima kasih Kakang,” jawab Raras, yang kurang menilik kata-kata Wacana ke kedalaman. Ia lebih sibuk dengan angan-angan sendiri, daripada mendengar dan mengerti apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya. Namun kemudian dengan sendat ia berkata, “Kakang. Apakah kau benar akan berbuat apa saja untukku?” “Tentu Raras,” jawab Wacana dengan serta merta. Tetapi Raras menarik nafas dalam-dalam. Kepala tertunduk sementara mulutnya tiba-tiba saja terkatup. “Raras. Katakan Raras,” desak Wacana tidak sabar lagi. Tetapi Raras masih saja berdiam diri. “Raras. Bagaimana aku mengetahui perasaanmu dan apalagi maksudmu, jika kau hanya diam saja seperti itu?” desis Wacana. Darahnya yang bagaikan semakin cepat mengalir itu telah menghentak-hentak jantungnya semakin keras. “Tidak Kakang. Aku tidak dapat minta kepadamu,” gumam Raras hampir tidak terdengar. “Kenapa tidak? Katakan, katakan Raras,” Wacana menjadi semakin mendesak. “Jangan kau hancurkan jantungmu sendiri dengan menahan gejolak perasaanmu. Jika kau bersedia mengatakan, maka hatimu tentu akan menjadi semakin lapang.” Raras masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kakang. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya dapat mengatakan kepadamu. Tidak kepada orang lain. Tidak pula kepada Ayah dan Ibu.” “Baik Raras. Aku akan mendengarkan dan berbuat apa saja yang terbaik untukmu,” jawab Wacana. Raras memandang Wacana dengan mata yang sayu. Namun akhirnya ia berkata, “Sejak peristiwa itu Kakang, aku benar-benar kehilangan segala perhatianku kepada Raden Teja Prabawa. Ternyata apa yang pernah kau katakan kepadaku itu benar. Bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang yang bertangung jawab. Ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi, Raden Teja Prabawa itu memang tidak berbuat sesuatu.” Raras terdiam sejenak, “Karena itu Kakang, maka aku tidak lagi berniat untuk menyambung hubunganku dengan Raden Teja Prabawa. Perhatianku ternyata mulai tertuju kepada orang lain.” “Kepada orang lain?” ulang Wacana, ”Katakan, kepada siapa perhatianmu itu sekarang kau tujukan?” Wajah Raras menjadi tegang, suaranya semakin bergetar. Katanya, “Apakah aku pantas mengatakannya Kakang? Aku adalah seorang perempuan.” “Apakah seorang perempuan tidak berhak menyatakan perasaannya? Apakah seorang perempuan harus menyimpan gejolak dalam jiwanya dan membiarkan jantungnya terbakar karenanya?” Wacana menjadi semakin tidak sabar lagi. Tiba-tiba Raras mengangguk. Katanya, “Aku minta kau menyimpannya bagimu sendiri Kakang.” “Aku berjanji Raras,” jawab Wacana. Raras masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakang. Sejak peristiwa itu terjadi, sejak aku diselamatkan oleh beberapa orang di dekat susukan Kali Opak, maka sejak itu wajah orang yang telah menolongku itu selalu terbayang. Lebih kuat dan lebih dalam sampai ke dasar jantung daripada Raden Teja Prabawa. Selain keteranganmu tentang Raden Teja Prabawa Kakang, kejantanan orang yang menolongku itu telah mendesaknya jauh ke belakang. Sehingga bayangan yang nampak bukan lagi wajah, sikap dan tingkah laku Raden Teja Prabawa, tetapi wajah dan tingkah laku seorang laki-laki sejati yang bernama Sabungsari itu.” Bagaikan disambar petir Wacana mendengar pengakuan Raras itu. Raras sama sekali tidak menyebut namanya. Gadis itu sama sekali tidak berpaling kepadanya dari Raden Teja Prabawa. Tetapi gadis itu justru berpaling kepada Sabungsari. Darah Wacana bagaikan menggelegak. Ingin rasanya saat itu juga ia menantang Sabungsari di hadapan Raras, agar Raras menjadi saksi, siapakah di antara mereka yang berilmu lebih tinggi. Raras yang terlanjur mengatakan perasaannya itu hanya dapat menunduk dalam-dalam. Ia tidak melihat perubahan wajah Wacana yang tiba-tiba menjadi gelap seperti langit yang tertutup mendung yang tebal. Beberapa saat suasana menjadi hening tegang. Kedua-duanya tenggelam dalam arus perasaan masing-masing. Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar Raras justru terisak. Dengan wajah yang masih menunduk ia mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipinya. Wacana pun seperti terbangun dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi yang buruk. Bahkan ia berdesah di dalam hatinya, “Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi keadaanku memang buruk sekali. Kenapa orang-orang Tanah Perdikan itu tiba-tiba hadir di Mataram, dan mendahului aku bertindak menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja itu?” Tetapi sebenarnyalah hal itu memang sudah terjadi. Perlahan-lahan Wacana berusaha menguasai gejolak perasaanya. Seandainya ia tidak mampu mengendalikan diri, maka apa yang akan dikatakan oleh pamannya Ki Rangga Wibawa dan bibinya? Karena itu, betapapun isi dadanya menjadi bagaikan terbakar hangus, namun Wacana masih berusaha untuk menguasai diri. Bahkan dengan nada dalam Wacana bertanya, “Raras, jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku bertemu dengan Sabungsari untuk mengatakan isi hatimu itu kepadanya.” Tetapi dengan serta merta Raras menyahut sambil bangkit berdiri, “Jangan Kakang. Jangan katakan kepada siapapun. Apalagi kepada orang itu. Bukankah kau berjanji bahwa kau tidak akan mengatakan kepada siapapun? Aku tidak ingin seorangpun kecuali kau sendiri yang mendengarnya. Karena kau adalah kakakku. Selama ini hanya kepadamu-lah aku dapat mengadukan perasaanku tentang anak muda yang tinggal di hatiku.” “Tetapi kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu untuk selama-lamanya Raras. Aku juga tidak ingin melihat kau menghancurkan hidupmu sendiri karena kau menyimpan perasaan yang bergejolak di hatimu itu.” “Biarlah Kakang. Aku akan menyimpan rahasia ini di dalam hatiku, apapun yang terjadi kemudian atas diriku. Tetapi aku tidak mau menanggung malu, karena aku seorang gadis telah menyatakan perasaannya mendahului pernyataan seorang laki-laki. Apalagi Ayah dan Ibu yang sama sekali tidak mengetahui perkembangan perasaanku. Ayah dan Ibu akan dapat menuduhku sebagai seorang gadis yang tidak setia.” “Jadi kepada ayah dan ibumu kau akan tetap mengatakan bahwa hatimu masih terpaut kepada Raden Teja Prabawa?” bertanya Wacana. Raras menjadi bingung. Sekali-sekali ia pernah mengatakan kepada ayah dan ibunya tentang sikap dan perasaannya itu terhadap Raden Teja Prabawa. “Jika demikian, maka kau tidak jujur Raras. Kau harus jujur terhadap kedua orang tuamu. Apa yang tesirat di hatimu, harus kau sampaikan kepada kedua orang tuamu, agar mereka mereka mendapat gambaran yang jelas tentang kau. Tentang anak gadisnya. Dengan demikian, maka kedua orang tuamu tidak akan salah mengambil langkah. Tetapi jika mereka tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya, maka akan dapat terjadi langkah-langkah yang diambilnya bertentangan dengan sikap hatimu.” “Kakang. Bukankah seorang gadis memang tidak dapat banyak memilih?” bertanya Raras. “Tetapi kau harus mengatakannya. Tentang sikap kedua orang tuamu, itu tergantung pada mereka. Tetapi mereka sudah tahu pasti apa yang kau inginkan.” Raras tetap menggeleng. Katanya, “Tidak Kakang. Bagiku sudah cukup jika kau saja yang mengetahuinya. Kepada Ayah dan Ibu aku memang pernah mengatakan tentang tanggapanku atas Raden Teja Prabawa sekarang. Terserah kepada Ayah dan Ibu, apa yang mereka lakukan. Tetapi aku tidak akan mengatakan kepada Ayah dan Ibu tentang sikapku terhadap orang yang telah menolongku.” Wacana tidak menjawab lagi. Meskipun dalam kediamanya itu terasa betapa jantungnya bagaikan berputar di dalam dadanya. Meskipun demikian Wacana masih berusaha untuk menyembunyikan perasaanya. Tetapi satu hal yang bergejolak di dalam hati anak muda itu. Setahu atau tidak setahu Raras, ia harus menemui Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki ia dapat mempertaruhkan Ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan seorang gadis yang diidamkanya. “Siapa yang lebih buruk di antara kita harus mundur. Setahu atau tidak setahu Raras,” berkata Wacana di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Wacana telah merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menjumpai Sabungsari dan berbicara sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Meskipun hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun juga, namun Wacana berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan mencari kesempatan untuk melakukannya. Di Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari dengan segala macam cara telah berusaha untuk melupakan Raras. Sabungsari benar-benar tidak berniat menjadi sebab terganggunya hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Karena itu, begitu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sabungsari pun telah menenggelamkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan anak muda di Tanah Perdikan bersama Glagah Putih. Sedangkan dalam waktu luangnya, maka Sabungsari telah menghabiskan waktunya di sanggar atau di tempat-tempat terbuka yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Dengan sungguh-sungguh Sabungsari berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Sejak ia dengan tuntunan Agung Sedayu berhasil memecahkan hambatan di dalam dirinya, maka Sabungsari perlahan-lahan telah meningkatkan kemampuannya. Agung Sedayu yang kadang-kadang sempat menungguinya, telah mengagumi betapa tekunnya Sabungsari bergulat dengan ilmunya itu. Tetapi di luar sadarnya, di tempat lain, Wacana pun telah mengasah tajam ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi terlalu sering berada di dekat Raras. Tetapi Wacana lebih banyak berada di sanggar pamannya, atau pergi ke tempat-tempat yang sunyi dan terasing untuk menempa diri. Ada perbedaan alasan antara Wacana dan Sabungsari, yang keduanya dalam waktu yang bersamaan telah menempa diri. Wacana mempersiapkan diri untuk menantang Sabungsari dalam sebuah perang tanding. Tuntas atau tidak tuntas, untuk menentukan siapakah di antara mereka yang harus menyingkir dari sisi Raras. Sedangkan Sabungsari menenggelamkan diri dalam latihan-latihan yang berat justru karena ia ingin melupakan Raras. Sementara Sabungsari sibuk dengan kegelisahannya sendiri, maka Glagah Putih dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah sibuk pula mengamati keadaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Agung Sedayu ketika ia kembali dari Mataram, bahwa empat orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan tugas yang masih gelap, meskipun sudah diduga bahwa yang akan mereka lakukan itu bukan satu usaha yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi untuk beberapa saat masih belum ada tanda-tanda bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada gerakan yang dapat mengganggu ketenangan dan apalagi berusaha untuk merusak tata kehidupan. Tetapi di samping kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan juga selalu berhati-hati. Mereka menyadari, bahwa orang yang ditemui di Kali Praga itu pada suatu saat akan mencari mereka. Terutama Rara Wulan. Meskipun hal itu disengaja oleh Agung Sedayu, agar orang yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal itu tidak terlepas dari satu kemungkinan untuk menjadi jembatan usaha mereka bertemu dengan orang yang disebut Resi Belahan. Sebenarnyalah bahwa orang itu benar-benar telah mencari kedua perempuan yang dikatakan oleh Agung Sedayu sebagai istri prajurit itu. Namun justru karena itu, maka meskipun Bajang Bertangan Baja telah menyatakan untuk meninggalkan Mataram serta Ki Manuhara telah terbunuh, tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja harus didampingi oleh seseorang, apalagi jika mereka pergi keluar rumahnya atau pergi ke pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga-lah yang harus mengantar mereka pergi ke pasar. Apalagi Ki Jayaraga sendiri memang senang melihat-lihat pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga yang semakin tua itu minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan membeli makanan anak-anak, karena Ki Jayaraga memang menyukainya. Clorot dan klepon, serta beberapa jenis makanan yang lain. Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat mencegah jika orang tua itu tiba-tiba saja ingin membeli dawet cendol dan minun di tempat itu juga sambil berjongkok. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang lebih senang berbelanja dengan Ki Jayaraga daripada dengan Glagah Putih atau Sabungsari, yang kadang-kadang menjadi tidak telaten jika mereka sedang menawar barang-barang yang akan dibelinya. Ternyata bahwa akhirnya yang mereka tunggu itu datang juga. Selagi Sekar Mirah dan Rara Wulan berbelanja di pasar, maka tiba-tiba seorang telah menggamit Rara Wulan. Gadis itu terkejut. Namun demikian ia berpaling, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga. Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Rara Wulan waktu itu berada di pasar bersama Ki Jayaraga yang kebetulan tidak pergi ke sawah. “Ah, kau,” desis Rara Wulan. “Kau masih ingat aku?“ bertanya orang itu. Matanya masih tetap liar seperti waktu mereka bertemu di pinggir Kali Praga. “Tentu,” jawab Rara Wulan. “Bukankah kau yang menyeberang Kali Praga bersama kami waktu itu?” “Ternyata ingatanmu tajam,” jawab orang tua itu. “Nah, apakah suamimu masih belum ada di rumah?“ Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ternyata orang itu berbicara langsung tentang dirinya. Ketika ia melihat Rara Wulan ragu-ragu, maka iapun mendesak, ”Jangan takut. Jika suamimu marah, aku akan menyelesaikannya.” “Suamiku ada di rumah sekarang,“ jawab Rara Wulan. Orang itu mengerutkan dahinya. Iapun berpaling kepada Sekar Mirah, “Dan suamimu?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah, “mereka pulang kemarin sore. Karena itu kami pergi berbelanja untuk suami kami masing-masing.” “Jangan hiraukan suamimu. Mari ikut aku. Nanti kalian aku antarkan pulang. Aku akan berbicara dengan suami kalian. Aku mempunyai barang-barang yang akan membuat suami kalian tidak akan marah.” Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab, “Hai, kau kira kami ini apa?” Orang itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, Rara Wulan pun berkata, “Jangan menghina kami Ki Sanak. Nanti perutmu dapat dilubangi oleh suami-suami kami.” Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukankah kalian bersikap baik ketika kalian berada di tepian Kali Praga?” “Kami bersikap baik, karena kami mengira bahwa hatimu pun baik dan sebersih pakaiamu,“ jawab Sekar Mirah. Jantung orang itu berdetak semakin cepat di dadanya. Wajahnya menjadi merah dan telinganya terasa panas. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan memang sengaja membuat orang itu marah, untuk memancing persoalan. Agar sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu, orang itu akan dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada orang yang bernama Resi Belahan. Sebenarnyalah orang itu bukan saja menjadi marah. Tetapi ia merasa seakan-akan kedua orang perempuan itu sedang mempermainkannya. Karena itu maka iapun menggeram, “Setan-setan betina. Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku?” “Kau mau apa?” tantang Rara Wulan, “Kita berada di pasar. He, lihat. Berapa orang yang sudah mulai memperhatikan kita. Jika kau bertindak kasar dan aku berteriak di sini, maka orang-orang akan berdatangan dan mengerumuni kita. Petugas yang menjaga pasar dan Lurah pasar ini akan segera menangkapmu dan membawamu kepada Ki Gede Menoreh.” Orang itu menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang orang-orang di sekelilingnya, satu dua orang memang tengah memperhatikannya, meskipun yang dilakukannya tidak lebih dari sekedar bercakap-cakap dengan kedua perempuan itu. Tidak jauh dari Sekar Mirah dan Rara Wulan berbicara dengan orang yang berpakaian bagus dan rapi itu, Ki Jayaraga berjongkok sambil meneguk semelak yang segar, meskipun tidak terlalu banyak orang yang menggemarinya. Ki Jayaraga seakan-akan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan kedua orang perempuan itu. Ternyata memang tidak terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Orang yang dijumpai di Kali Praga itu segera meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keliaran pandangannya telah memperingatkan agar Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berhati-hati. Baru setelah orang itu pergi, maka Ki Jayaraga pun bangkit dan mendekati mereka, setelah membayar harga semelak yang diminumnya. Dengan nada rendah Ki Jayaraga berdesis, “Berhati-hatilah Ngger. Orang itu bukan jenis orang yang mudah melepaskan sesuatu yang diingininya.” dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini Ki Jayaraga pun mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Memang satu pancingan yang berbahaya. Tetapi kita tidak mempunyai cara lain. Jika kita tempuh cara yang lebih lunak, agaknya Angger Glagah Putih tidak sependapat. Bukankah itu terasa padamu Rara Wulan?” “Ah,” desah Rara Wulan. Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah justru tertawa kecil. Katanya, “Kau justru harus berbangga Rara. Jika Glagah Putih tidak mempedulikan apa saja yang kau lakukan, barulah kau mengeluh.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah. Yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan wajahnya. Meskipun demikian, seleret senyum nampak di bibirnya. Demikianlah, mereka bertiga pun segera meninggalkan pasar itu setelah mereka selesai berbelanja. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, mereka menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di sebelah tikungan, mereka harus mengikuti jalan yang berkelok melalui pinggir padukuhan, sebelum sampai di simpang empat dan kembali memasuki padukuhan. “Di sepotong jalan di pinggir desa itulah satu-satunya kemungkinan bagi orang itu untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat menghambat perjalanan kita,“ berkata Ki Jayaraga. Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi sepotong jalan itu tidak cukup panjang untuk berbuat banyak. Apalagi sepotong jalan itu masih tetap melekat pada padukuhan induk. Sebenarnya masih ada jalan lain yang lebih terlindung dari kemungkinan buruk itu, jika mereka menghendaki. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang memilih jalan itu. Sebelum mereka berbelok memasuki jalan yang menuju ke pinggir padukuhan itu Ki Jayaraga pun berkata, “Mereka ada di belakang kita.” “Baiklah,“ berkata Sekar Mirah, “satu kesempatan. Tetapi sayang bahwa Kakang Agung Sedayu agaknya sudah berangkat ke barak.” “Mereka, maksudku orang yang berpakaian bagus itu dengan kedua orang pengawalnya, tidak akan mengikuti kita sampai ke rumah,“ berkata Ki Jayaraga. “Belum tentu, mungkin mereka ingin melihat rumah kita,“ jawab Rara Wulan. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. “Memang satu kemungkinan. Tetapi apakah kita berniat untuk membawa mereka sampai ke rumah kita?” “Bagaimana pendapat Ki Jayaraga?“ bertanya Sekar Mirah. “Jika demikian, maka peristiwa itu akan terulang. Seperti Ki Manuhara, maka mereka akan datang dan menyerang rumah kita.” “Bukankah itu lebih baik? Kita membatasi persoalan ini di dalam dinding halaman rumah kita. Sementara itu kita akan dapat mengenali Resi Belahan jika ia datang untuk membantu orang yang menyebutnya Paman itu,” desis Sekar Mirah. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika Angger Agung Sedayu setuju.” “Tetapi kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara dengan Kakang Agung Sedayu sekarang,“ desis Rara Wulan. “Jika demikian, biarlah kita mencoba. Tetapi justru karena kalian mengatakan bahwa suami kalian pulang, mungkin orang itu akan berbuat lain. Mungkin ia mempunyai cara lain selain datang ke rumah kita,” berkata Ki Jayaraga. Sebenarnyalah, belum lagi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjawab, maka orang itu telah menyusul mereka dan bahkan menghentikan langkah mereka. “Tunggu,“ berkata orang itu, “aku masih ingin bicara. Tetapi tidak di dalam pasar yang ramai.” Sekar Mirah dan Rara Wulan memang segera berhenti. Demikian pula Ki Jayaraga. “He, kau orang tua. Kenapa kau juga berhenti? Pergilah. Kami bukan tontonan,“ berkata orang itu. Tetapi Ki Jayaraga menjawab. “Ki Sanak. Aku adalah mertua mereka keduanya. Kedua perempuan itu adalah menantuku. Suami mereka dua orang kakak beradik.” “He?” orang itu mengerutkan dahinya, “Jadi suami kalian kakak beradik dan kedua-duanya menjadi prajurit?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah dan Rara Wulan hampir berbareng. “Aku tidak peduli. Sekarang aku minta kalian berdua mengikuti aku,” berkata orang itu. “Untuk apa?“ bertanya Sekar Mirah. “Kalian tidak usah bertanya,“ jawab orang itu, “cepat. Kalian harus turun ke jalan sempit itu dan berjalan ke arah petegalan di sebelah.” “Ya, untuk apa?” desak Sekar Mirah. “Jangan bertanya lagi supaya aku tidak menyumbat mulutmu!“ bentak orang itu, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Cepat!” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka sempat memperhatikan dua orang yang bertubuh raksasa yang mengawal orang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal itu. “Cepat! Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.” “Tatapi kami akan kau bawa kemana?“ bertanya Sekar Mirah. “Jangan ribut. Pada saatnya kalian akan aku lepaskan untuk pulang ke rumah kalian dan mengadu kepada suami kalian,” geram orang itu. Ki Jayaraga yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Pergilah. Kalian tidak mempunyai pilihan.” Sekar Mirah dan Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa mulai bergerak mendekati Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Pergilah,“ Ki Jayaraga mengulang. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mulai bergerak. Tetapi orang yang berpakaian mahal itu berkata, “Kakek tua. Kau juga harus ikut bersama kami.” “Kenapa aku juga ikut?” bertanya Ki Jayaraga. “Kau akan dapat merusakkan acara kami,” jawab orang itu. Ki Jayaraga tidak membantah lagi. Sekali ia memandang orang yang bertubuh raksasa itu. Sambil membelalakkan matanya salah seorang dari yang bertubuh raksasa itu berkata, “Tutup mulutmu. Jangan banyak bertanya.” Ki Jayaraga memang tidak bertanya. Sementara itu, orang berpakaian bagus itu berkata kepada salah seorang dari kedua pengawalnya itu, “Kau berjalan di muka.” Orang itu pun berjalan menjauhi orang-orang yang ada di tempat itu. Kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus mengikuti di belakangnya. Baru kemudian orang yang berpakaian rapi itu, sementara Ki Jayaraga harus berjalan diiringi oleh pengawalnya yang seorang lagi. Dua orang yang kebetulan lewat melihat iring-iringan itu berjalan menyusur jalan sempit. Dari arah yang lain, seorang yang berjalan juga merasa heran melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama beberapa orang menyusuri jalan sempit itu. Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, maka mereka tidak merasa perlu untuk dengan serta merta memberitahukannya kepada keluarga Agung Sedayu. “Mungkin mereka mengantar tamu mereka untuk melihat-lihat Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang lewat itu. Sementara itu setelah beberapa saat mereka berjalan, maka seorang yang berpakaian rapi itu telah menggiring Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sebuah pategalan yang ditanami dengan tanaman yang padat, sehingga demikian mereka memasuki pategalan itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu telah ditelan oleh dedaunan. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan terkejut. Ternyata di tengah pategalan itu terdapat lima ekor kuda. “Cepat naik!“ bentak orang itu. “Kita harus segera menjauhi padukuhan induk. Orang-orang yang melihat kalian pergi bersama kami tentu akan memberikan laporan, sehingga mereka akan mencari kalian. Tetapi kalian akan kami bawa ke tempat yang tak mungkin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan, meskipun tempat itu masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi kami tentu tidak akan dapat naik kuda,“ berkata Sekar Mirah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Kau jangan bohong. Kau berkuda ketika kau menyeberang Kali Praga.” “Tetapi tidak dengan pakaian seperti ini,” jawab Rara Wulan. “Apa bedanya?” bertanya orang itu. “Dengan kain panjang, bagaimana aku dapat meloncat ke punggung kuda?“ desis Rara Wulan. “Aku akan mengoyakkan kain panjangmu,“ berkata orang itu. “Jangan,“ minta Rara Wulan. “Cepat. Kau ternyata berusaha untuk mengulur waktu. Tetapi aku tidak mau kau perbodoh seperti itu,” geram orang itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata orang yang berpakaian rapi itu benar-benar akan mengoyak kain panjang Rara Wulan dan Sekar Mirah. Tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah segera meloncat surut. Ketika kedua orang raksasa itu akan membantu untuk memegangi kedua orang perempuan yang akan dipaksa untuk naik kuda itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan mereka. Justru karena sikap hati-hatinya, maka di bawah kain panjangnya Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khususnya. Karena itu, sebelum kain panjangnya dikoyak agar mereka dapat meloncat ke punggung kuda, maka keduanya telah menyingsingkan kain mereka. Orang berpakaian rapi serta kedua raksasa itu tertegun sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Nah, mereka sudah siap untuk naik kuda. Tetapi kuda itu hanya lima ekor. Lalu aku harus naik yang mana?” “Kau akan diseret di belakang salah seekor dari kuda itu. Tubuhmu akan terkelupas, dan setelah kau tidak bernyawa lagi, sosok mayatmu akan dibuang di semak-semak,“ geram salah seorang dari kedua orang raksasa itu. Tetapi sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Kalian tidak akan dapat memaksa aku untuk naik ke punggung kudamu, meskipun aku sudah mengenakan pakaian khususku. Demikian pula adikku.” “Kau terpaksa harus mengikuti perintahku agar lehermu tidak dipatahkan oleh kedua raksasa itu,” geram orang itu pula. “Kau jangan membuat lelucon di hadapanku. Kami berdua adalah istri prajurit. Karena itu, maka kami sering melihat bagaimana mereka berlatih menjaga diri mereka sendiri.” “Iblis betina kau. Kau kira kau mampu bertahan dalam sekejap? Jangan membuat aku marah. Karena padaku batas antara kasmaran dan kemarahan tidak terlalu jauh. Kedua orang itu akan mengikatmu. Dan seperti yang dikatakannya, jika kalian mencoba melawan, kakek tua itu akan kami ikat di belakang kaki kudaku dan menyeretnya sampai seluruh kulitnya terkelupas.” “Begitu mudahnya kau akan memaksa kami?” sahut Rara Wulan dengan nada tinggi. Lalu katanya, “Sudah kami putuskan bahwa kami akan melawan.” “Persetan,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada kedua pengawalnya. “Ikat mereka pada punggung kuda. Aku tidak mempunyai waktu.” Tetapi kedua raksasa itu benar-benar terkejut. Demikian mereka mulai bergerak, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meloncat menyerang. Dengan sekuat tenaga Rara Wulan menyerang dagu salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu dengan tumitnya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar giginya gemeretak. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa hal itu dapat terjadi. Bahkan kemudian iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri. Sementara itu Sekar Mirah pun telah menyerang lawannya. Tidak dengan kakinya. Tetapi telapak tangannya yang terbuka telah menghantam dada raksasa yang seorang lagi. Demikian kerasnya, raksasa itu benar-benar tidak mampu tetap bertahan untuk tegak berdiri. Tubuhnya bagaikan didorong dan dilemparkan sehingga jatuh terkapar di tanah. Meskipun ia dengan cepat bangkit kembali, namun wajahnya telah menjadi merah padam. “Perempuan itu telah menjatuhkannya. Nah, hati hatilah dengan perempuan,” berkata Ki Jayaraga. Kedua raksasa itu menjadi sangat marah. Seorang di antara mereka ternyata giginya telah berdarah, sementara yang lain nafasnya menjadi sesak. Orang yang berpakaian bagus dan terbuat dari bahan yang mahal itu justru termenung untuk beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa perempuan-perempuan itulah yang justru lebih dahulu menyerang. Ketika orang itu melihat pakaian kedua perempuan itu di atas rakit penyeberangan di Kali Praga, ia hanya menduga bahwa pakaian yang tidak terbiasa dipakai permpuan itu sekedar untuk memudahkan agar mereka dapat naik kuda. Tetapi ternyata perempuan yang berpakaian khusus itu memiliki kekhususan pula. Dengan marah orang itu kemudian berkata, “Kalian benar-benar membuat aku marah. Jangan menyesal jika kalian akan diperlakukan kasar oleh kedua orangku itu.” Tetapi Rara Wulan menjawab, “Aku juga dapat memperlakukan mereka dengan kasar. Tetapi jika mereka berbuat baik, akupun dapat berbuat baik pula.” Jawaban itu membuat orang berpakaian bagus itu bagaikan terbakar. Demikian pula kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka orang yang berpakaian rapi itu berkata kepada orang-orangnya, “Terserah kepada kalian berdua, apapun yang akan kalian lakukan untuk mengikat keduanya pada kuda-kuda itu. Kalian dapat berlaku keras. Tetapi jangan membuat mereka cacat. Aku masih menyayangkan kecantikan mereka.” Keduanya menggeram. Rasa-rasanya keduanya justru ingin menerkam wajah mereka dan menggoreskan dengan senjata mereka silang menyilang. Tetapi ternyata orang yang berpakaian rapi itu menginginkan kecantikan mereka. Tetapi ternyata kedua orang raksasa itu tidak begitu mudah melakukan tugas mereka. Kedua perempuan itu justru telah bersiap untuk melawan mereka. Yang terjadi kemudian memang petempuaran yang keras. Kedua orang yang bertubuh raksasa yang mendapat ijin dari orang yang mengupah mereka untuk berlaku kasar sekalipun, ternyata tidak dapat dengan mudah menangkap dan apalagi mengikat keduanya pada kuda-kuda yang telah disediakan. Bahkan pertempuran di antara mereka berdua dengan orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama justru menjadi semakin keras. Orang yang berpakaian mahal itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran bahwa kedua orang perempuan itu dapat mengimbangi kemampuan kedua orang pengawalnya. Bahkan semakin lama maka kedua raksasa itu menjadi semakin bingung. Terutama orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan. Bukan saja kelebihannya dalam kecepatan bergerak. Tetapi ketika sekali-sekali tangannya membentur serangan orang bertubuh raksasa itu, maka Sekar Mirah justru mampu mendorong lawannya satu dua langkah surut. Dalam pada itu Rara Wulan sekali-sekali masih mampu menjaga keseimbangan pertempuran. Meskipun sekali-sekali Rara Wulan masih harus bergeser surut mengambil jarak, tetapi semakin lama Rara Wulan justru menjdi semakin mapan. Orang berpakaian mahal itu terkejut ketika ia mendengar Ki Jayaraga tertawa sambil berkata, “Nah, kau lihat bahwa kedua perempuan itu mampu menjaga dirinya. Mereka tidak perlu memanggil suaminya. Apabila hal itu sempat mereka lakukan, maka lawan-lawan mereka itu akan segera dihancurkan.” “Setan kau Kakek Tua. Karena kedua orang perempuan itu berani melawan aku, maka kau akan ikut mengalami nasib buruk. Aku tidak segan-segan memperlakukan kau dengan cara yang paling buruk.” Tetapi Ki Jayaraga masih saja tertawa. Katanya, “Kau masih saja mengigau dalam keadaan seperti ini. Jika dengan menantu-menantuku saja kau tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan mertuanya.” Orang berpakaian mahal menjadi marah sekali mendengar jawaban orang tua itu. Karena itu, maka dengan serta merta tangannya telah terayun menampar wajah Ki Jayaraga. Tetapi orang tua itu tidak dapat disentuhnya. Dengan bergeser setapak dan menarik wajahnya, maka ayunan tangan orang itu tidak dapat mengenainya. Kemarahan orang itu semakin membakar jantung. Dengan cepat ia melenting menyerang. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada orang tua itu. Ia tidak mempedulikan seandainya tulang-tulang iga orang itu berpatahan. Tetapi yang terjadi justru tidak seperti yang dikehendaki. Orang yang berpakaian bagus itu tidak mengerti apa yang dilakukan orang itu. Yang diketahuinya bahwa tiba-tiba saja kakinya telah terlempar, justru seakan-akan telah terangkat tinggi-tinggi. Dengan demikian maka tubuhnya pun telah jatuh terbanting di tanah. Tulang punggungnya serasa menjadi retak karenanya. Tetapi orang itu masih juga bangkit dengan cepat. Giginya gemeretak, sedang dari sepasang matanya begaikan memancar api kemarahan yang akan membakar Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Ia melihat pada mata orang itu bahwa orang itu pun memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. “Orang tua yang tidak tahu diri,“ geram orang itu, “ternyata kau masih merasa bahwa kau masih mampu melindungi dirimu. Baiklah jika cara itu yang kau kehendaki. Aku benar-benar akan membunuhmu. Aku sudah mencoba menahan diri, tetapi kau salah mengerti. Bahkan dengan sombong kau telah menyakiti aku.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun mulai bersungguh-sungguh. Apalagi ketika ia melihat orang yang berpakaian mahal itu mulai mengatupkan kedua belah telapak tangannya. Demikianlah, maka sejenak orang itu mulai bergerak. Tidak lagi asal mengayunkan tangan atau kakinya. Ia mulai benar-benar membuat perhitungan untuk melawan orang tua itu. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap pula. Ketika orang yang berpakaian mahal itu mulai bergeser, maka Ki Jayaraga pun lelah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka orang yang berpakaian mahal itu pun menyadari bahwa orang tua yang dihadapinya itu bukan orang kebanyakan pula. Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanya pun telah benar-benar bertempur. Orang yang berpakaian bagus itu meloncat-loncat dengan tangkas, sehingga kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tetapi lawannya yang tua itu adalah Ki Jayaraga. Karena itu, betapapun cepatnya orang itu bergerak, tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya lamban. Bahkan beberapa saat kemudian, justru tangan Ki Jayaraga yang mampu menembus pertahanan orang itu. Semakin lama justru menjadi semakin sering. Kemarahan orang itu pun telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Dikerahkannya tenaga dalam yang mampu diungkapkannya sampai tuntas. Dengan segenap kekuatan dan kemampuannya orang itu berusaha secepatnya menyelesaikan orang tua itu, agar ia dapat segera membantu kedua orang pengawalnya, yang nampaknya tidak dapat segera menguasai kedua orang perempuan itu. Tetapi usaha orang itu pun sia-sia. Dengan kemarahan yang membakar jantung, orang itu telah menyerang Ki Jayaraga dengan landasan kemampuan puncaknya. Sebuah loncatan yang deras sambil menjulurkan kedua tangannya menerkam ke arah dada. Jari-jarinya yang mengembang bagaikan jari-jari seekor elang yang menerkam mangsanya. Ki Jayaraga melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari tangan lawannya itu akan dapat mencengkeram dan bahkan mengoyak dadanya. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap sepenuhnya. Demikian tangan itu hampir menggapai tubuhnya, maka Ki Jayaraga pun segera meloncat ke samping. Tetapi Ki Jayaraga tidak sekedar menghindar. Ketika demikian serangan itu menyambar sejengkal dari tubuhnya, maka Ki Jayaraga justru dengan cepat menyerang lawannya. Kakinya terjulur cepat sekali menghantam lambung. Lawannya itu berteriak nyaring. Perasaan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan dorongan kekuatan yang sangat besar telah melemparkan orang itu searah dengan loncatannya sendiri. Karena itulah, orang yang berpakaian mahal itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Ia justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Namun dengan tangkasnya orang itu berguling mengambil jarak. Sementara itu Ki Jayaraga memang tidak mengejarnya, sehingga orang itu pun telah bangkit berdiri. “Setan Tua,“ geram orang itu, “jika kau keras kepala, maka kau akan benar-benar lebur menjadi debu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. “Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Sementara itu kedua orangmu itu pun sebentar lagi akan menjadi tidak berdaya. Nah, ada pilihan yang aku tawarkan kepadamu. Pergi dari tempat ini, atau kalian akan kami tangkap dan kami bawa menghadap ke Ki Gede. Kedua orang suami perempuan-perempuan itu pun akan hadir. Mereka akan dapat melubangi perutmu dan perut kedua orang upahanmu itu dengan pedang-pedang mereka, di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang yang berpakaian bagus itu menggeram. Pakaiannya yang rapi telah menjadi kusut, bahkan kotor oleh debu yang melekat pada pakaian yang basah karena keringat. Ketika ia berguling-guling di tanah, dan lumut pun telah melekat pula. “Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebelum terlambat,“ berkata Ki Jayaraga, yang memang tidak ingin menangkap orang itu agar orang itu sempat melaporkan kepada Resi Belahan. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu pun masih bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Orang yang harus bertempur melawan Sekar Mirah itu pun sudah tidak berdaya sama sekali. Satu dorongan yang tidak terlalu kuat telah menggoyahkan keseimbangannya. Sementara itu keduanya masih belum berani mempergunakan senjata, karena mereka tahu orang yang mengupahnya itu tidak ingin perempuan-perempuan itu terluka. Tetapi tanpa senjata, keduanya memang tidak bedaya. Dalam pada itu, orang yang semula berpakaian rapi itu sedang berpikir. Ia tidak dapat menutup mata dari kenyataan yang dihadapainya. Apalagi sejenak kemudian, orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu pun telah terlempar jatuh. Dengan susah payah orang itu bangkit. Namun demikian ia mulai menapakkan kakinya, maka kawannya tiba-tiba saja telah terdorong surut oleh serangan Rara Wulan dan bahkan menimpanya. Dengan demikian maka keduanya pun telah jatuh berguling beberapa kali. “Nah, apakah kau lihat kedua orangmu itu?“ desis Ki Jayaraga, “Mereka sudah tidak berdaya sama sekali. Jika mereka kau paksa untuk bertempur terus, maka mereka benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Ingat, kedua perempuan itu pun dapat kehilangan kesabaran. Apalagi mereka dibayangi oleh ketakutan bahwa mereka akan kau bawa serta. Ketakutan yang demikian besar akan dapat menjadikan mereka semakin garang. Melampaui kegarangan suami-suami mereka.” Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun memang ia tidak melihat kemungkinan lain. Iapun menyadari bahwa orang tua itu tidak akan mudah dikalahkannya. Apalagi setelah kedua orang upahannya itu dapat dikalahkan oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka sambil melangkah surut iapun berkata, “Setan Tua. Kau aku ampuni hari ini. Jika aku mau mencabut senjataku, maka umurmu tidak akan lebih panjang dari kejapan mata. Tetapi kali ini kau akan aku biarkan untuk hidup. Meskipun demikian, berhati-hatilah. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Dendamku akan membakarmu dan kedua perempuan itu.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Iapun memberi isyarat kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk tidak berbuat sesuatu. Demikianlah, maka orang yang berpakaian bagus itu pun telah memberi isyarat kepada kedua kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah melangkah mendekati kuda-kuda mereka. Namun dalam pada itu, ternyata Rara Wulan masih juga bertanya dengan nada lembut sambil tersenyum, “Namamu siapa Ki Sanak? Sudah sejak tadi kita berbincang, tetapi kau belum menyebutkan namamu.” “Persetan dengan kau perempuan iblis,” geram orang itu. Rara Wulan tidak hanya tersenyum. Tetapi iapun tertawa sambil berkata, “Apakah kau marah?” “Kau akan menyesal dengan sikapmu,” geram orang itu sambil meloncat ke punggung kudanya. “Bukankah yang dua ekor kuda itu untuk kami berdua?” bertanya Sekar Mirah. “Aku sumbat mulutmu dengan hulu pedangku,” geram orang yang semula berpakaian rapi itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan tertawa. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menggelengkan kepala. Ia tidak dapat mencegah kedua perempuan itu untuk mengganggu laki-laki yang bermata srigala tetapi berbulu domba itu. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak benar-benar merampas kedua ekor kuda yang nampaknya memang telah dipersiapkan bagi mereka berdua. Dibiarkannya laki- laki berpakaian mahal, yang sudah menjadi kumal, kotor dan bahkan koyak itu, melarikan kudanya, disusul oleh kedua orang pengawalnya sambil masing-masing menuntun seekor kuda. “Mudah-mudahan pancingan ini berhasil membawa Resi Belahan ke Tanah Perdikan Menoreh,” desis Ki Jayaraga. “Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Sekar Mirah. “Kita sudah membuat jebakan untuk mengenal Resi Belahan. Tetapi kita tidak tahu, apakah Resi Belahan juga mempunyai cara-cara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya untuk memecahkan permainan kita.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Permainan yang menuntut perhitungan yang cermat.” Demikianlah, maka Ki Jayaraga pun kemudian telah mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pulang. Hari menjadi semakin siang. Sementara itu mereka membawa barang-barang belanjaan mereka dari pasar. Sekar Mirah dan Rara Wulan masih harus membenahi pakaiannya lebih dahulu, karena pakaian mereka pun menjadi kusut pula oleh debu yang melekat karena pakaian mereka basah oleh keringat. Sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan pategalan itu. Tetapi ketika mereka mulai beranjak, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Bagaimana dengan pategalan ini?” Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi termangu-mangu. Tanaman memang menjadi rusak, meskipun hanya di tempat tertentu. Kaki-kaki kuda telah mematahkan pepohonan. “Apa boleh buat,” berkata Sekar Mirah. “Tetapi jejak kaki kuda itu serta bekas yang ada, memberitahukan kepada pemiliknya bahwa telah terjadi pertempuran di sini.” “Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat kita turun ke lorong yang menuju ke pategalan ini?” desis Rara Wulan. Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Kita akan membicarakanya nanti di rumah.” “Baiklah,“ berkata Ki Jayaraga, “kita pun nanti akan menghubungi pemiliknya jika perlu.” Dengan demikian ketiga orang itu pun segera meninggalkan pategalan itu. Rara Wulan masih saja menjijing keranjang kecil yang berisi barang-barang belanjaan di pasar sebelumnya. Namun demikian mereka keluar dari pategalan, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih berjalan menuju ke arah mereka. “Kami menjadi gelisah,” berkata Glagah Putih demikian mereka mendekat. “Dari mana kau tahu bahwa kami ada di sini?” bertanya Ki Jayaraga. “Ada orang yang memberitahukan kepada kami bahwa kalian telah berbelok lewat lorong sempit menuju ke pategalan. Dengan mengikuti jejak kalian, maka kami sampai di sini,” jawab Glagah Putih. “Marilah kita pulang. Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Pategalan ini menjadi rusak agak di tengah oleh kaki kami dan kaki-kaki kuda,” berkata Ki Jayaraga. Tanpa banyak berbicara lagi, maka mereka pun segera beriringan pulang. Ternyata memang ada orang yang menyampaikan kepada Glagah Putih tenteng kejanggalan yang dilihatnya, karena mereka bertiga berbareng dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dua di antara mereka adalah orang yang bertubuh raksasa. Glagah Putih dan Sabungsari pun segera tanggap. Karena itu, maka mereka pun berusaha menyusul. Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Jayaraga pun telah menceritakan apa yang terjadi, Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan segera sibuk di dapur, karena hari sudah menjadi semakin siang. Glagah Putih dan Sabungsari mendengar cerita Ki Jayaraga yang bersungguh-sungguh. Dengan demikian mereka sadar, bahwa agaknya orang yang berpakaian rapi dan dibuat dari bahan-bahan yang mahal itu sudah benar-benar mulai. Tetapi seperti dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka biarlah orang itu akan dapat dijadikan jembatan sampai kepada orang yang menyebut dirinya Resi Belahan. “Jika demikian, maka kita harus bersiap-siap untuk menyongsong Resi Belahan,“ berkata Glagah Putih. Ki Jayaraga menganguk-angguk. “Mudah-mudahan Resi Belahan benar-benar akan tertarik hatinya untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh.” Di sore hari ketika Agung Sedayu pulang dari barak, maka hal itu segera disampaikan oleh Ki Jayaraga. Bahkan dalam kesempatan itu Glagah Putih, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan ikut duduk bersama di ruang dalam. “Tadi Ki Lurah hampir saja ikut aku kemari,” berkata Agung Sedayu, “jika saja Ki Lurah benar-benar ikut, Ki Lurah akan dapat mendengarnya pula.” “Kenapa Kakek tidak jadi datang kemari?” bertanya Rara Wulan. “Nampaknya Ki Lurah ingin beristirahat,“ jawab Agung Sedayu. Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut keterangan orang yang kita temui di Kali Praga itu, mereka akan membawa kami ke tempat yang tidak akan diketahui, meskipun berada di Tanah Perdikan ini pula.” “Jika demikian maka kita harus melihat tempat-tempat yang dianggap terpencil dan tersembunyi di Tanah Perdikan ini,” sahut Agung Sedayu. “Hutan di Tanah Perdikan ini masih cukup luas,“ desis Glagah Putih, “bahkan sampai ke lereng-lereng pegunungan, membujur dari utara ke selatan. Kita akan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan hal itu. Meskipun bukan berarti bahwa kita tidak dapat menjelajahi seluruh daerah ini. Kita dapat menyebar para pengawal dan mengamati lingkungan di sekitar padukuhan mereka masing-masing. Sudah tentu termasuk hutan di lereng pegunungan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak dapat melepaskan para pengawal itu tanpa petunjuk khusus. Jika mereka terjerumus ke dalam jerat orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di antara mereka, maka korban akan berjatuhan. Karena itu, maka mereka memerlukan bimbingan. Sementara sebelumnya kita harus lebih banyak mengetahui keadaan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini.” Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat dengan Agung Sedayu. Jika para pengawal itu, bahkan dengan Prastawa sekalipun, terjebak dalam persoalan dengan orang-orang berilmu tinggi, maka bencana akan terjadi atas mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu memang berniat memancing orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Resi Belahan itu ke lingkungan halaman rumahnya untuk membatsi persoalan, apalagi di rumah itu terdapat beberapa orang yang akan dapat melawannya. Namun Agung Sedayu masih juga berpesan, agar mereka tetap berhati-hati. “Orang yang kita temui di Kali Praga dan yang telah membawa kalian ke pategalan itu tentu tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Meskipun mungkin ia tidak lagi berharap akan dapat membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan, namun dendam mereka-lah yang mungkin akan dapat menyala semakain besar. Mudah-mudahan benar seperti yang kita harapkan, orang itu datang dan bahkan membawa serta Resi Belahan kemari. Tetapi jangan justru kita yang terjebak oleh rencana kita sendiri, karena kita kurang berhati-hati.” Dengan demikian, terutama Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka menjadi semakin jarang pergi ke pasar. Meskipun demikian, mereka bukan sepenuhnya mengurung diri dalam rumahnya. Mereka memang berharap bahwa keduanya diketahui tempat tinggalnya. Dari hari kehari mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi ternyata untuk beberapa lama, mereka tidak lagi bertemu dengan orang yang mereka temui di Kali Praga dengan pakaian bagus yang terbuat dari bahan yang mahal itu, yang telah membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan ke pategalan, meskipun orang itu justru harus mengalami kekalahan. Yang terjadi justru tidak terduga. Seperti petir yang menyambar saat matahari cerah, Wacana-lah yang justru datang ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku datang dengan sikap laki-laki,“ katanya setelah ia dipersilahkan duduk. “Apa yang sebenarnya telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak. “Aku ingin berbicara langsung dengan Sabungsari,“ berkata Wacana kemudian. “Kenapa dengan Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu. “Ada persoalan yang sangat penting yang harus aku bicarakan dengan orang itu,” jawab Wacana dengan nada berat. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Wacana benar-benar ingin berbicara dengan Sabungsari langsung. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memanggil Sabungsari untuk menemui Wacana di pendapa. Hadir juga bersama Sabungsari, Glagah Putih, dan bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Aku bukan orang yang senang menyimpan persoalan,“ berkata Wacana dengan tegas. Orang-orang yang menemuinya memang agak heran. Wacana seakan-akan telah berubah. Ia bukan lagi Wacana yang mereka temui di rumah Ki Rangga Wibawa dan Wacana yang telah mengantar Raden Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat. “Katakanlah,” desis Sabungsari meskipun dengan ragu. “Aku memang tidak ingin berbicara hanya berdua saja. Biarlah orang lain menjadi saksi pembicaraan kita,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan Wacana. Tetapi karena Wacana sepupu Raras, serta ia tinggal untuk sementara di rumah Raras, apalagi Wacana adalah sahabat Raden Teja Prabawa, maka Sabungsari memang mengarahkan dugaannya bahwa persoalannya tentu berhubungan dengan Raras. Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kalian ingin berbicara berdua saja?” “Justru tidak,“ jawab Wacana. “Jika demikian, katakanlah.” Wajah Wacana menegang sesaat. Namun kemudian ia berusaha untuk dapat berbicara dengan wajar dan jelas. Katanya, “Sabungsari. Kau tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang selama ini dikenal berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa, kakak Rara Wulan ini.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar. Arah pembicaraan Wacana terkait dengan persoalan Raras. Tetapi persoalan apa yang telah membuat Wacana bicara dengan bersungguh-sungguh, masih belum diketahui. Ia sendiri selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, sehingga mereka merasa bahwa ia belum pernah hadir di antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Apalagi iapun telah berkeras untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjahui gadis itu. Betapapun ragunya, Sabungsari pun kemudian menjawab, “Ya. Aku mengerti.” “Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melibatkan diri menjadi orang ketiga dalam hubungan di antara mereka,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan darah rendah ia bertanya, “Kenapa kau berkata demikian Wacana? Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa aku pernah menengahi hubungan mereka, atau bahkan melibatkan diri sebagai orang ketiga? Kau tahu bahwa aku masih belum begitu mengenal Raras. Demikian pula Raras. Aku jarang, atau katakan hanya datang ke rumah Raras dua atau tiga kali, bersama-sama dengan beberapa orang untuk menengok dan kemudian minta diri. Sebagaimana kau ketahui, aku sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimana kau dapat mempersoalkan aku dalam hubungannya antara Raras dan Raden Teja Prabawa.” “Kau tidak usah ingkar Sabungsari. Bahkan seandainya apa yang kau katakan itu benar, itu agaknya memang lebih baik. Tetapi aku minta kau berjanji bahwa kau tidak akan bertemu dengan Raras lagi.” Wajah Sabungsari memang menjadi merah. Bukan karena dia tidak ingin melupakan Raras, karena hal itu memang sudah diinginkannya. Tetapi justru karena permintaan Wacana yang seakan-akan mengancamnya itu, ia sama sekali tidak senang. Namun dalam pada itu bahwa Rara Wulan-lah yang bertanya, “Wacana. Apakah kau datang atas nama Kakangmas Teja Prabawa?” Wacana menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa pada suatu saat bahwa Rara Wulan akan dapat bertanya langsung kepada Raden Teja Prabawa. Karena itu, maka seperti apa yang dikatakannya bahwa ia datang sebagai seorang laki-laki, ia tidak ingin bersembunyi di balik nama siapapun juga. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku datang atas keinginanku sendiri. Aku berniat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan Sabungsari, justru karena aku dan Sabungsari mempunyai kepentingan yang sama. “ “Kepentingan yang sama yang mana?“ bertanya Sabungsari dengan serta merta. “Aku akan berterus terang,” berkata Wacana, “Raras menjadi sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Tidak ada orang yang berhasil menjelaskan persoalan yang sebenarnya tejadi atas Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras telah menyatakan, terus terang atau tidak, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan hubungannya dengan Raden Teja Prabawa. Apalagi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Ayah Raden Teja Prabawa belum pernah datang melamar gadis itu.” Wacana berhenti sejenak, lalu iapun justru bertanya kepada Rara Wulan, “Bukankah begitu? Bukankah hubungan mereka baru terbatas dalam hubungan persahabatan, meskipun memang menjurus kepada hubungan yang lebih khusus lagi? Katakanlah bahwa mereka agaknya mulai menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sebagai pasangan yang akan menempuh hidup bersama. Mereka mulai merasa, sekali lagi, mereka baru mulai, seakan-akan mereka saling jatuh cinta.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Keduanya baru mulai mengadakan pendekatan. Meskipun demikian Teja Prabawa benar-benar telah mencintai gadis yang bernama Raras itu. Sementara itu Wacana pun berkata selanjutnya, “Tetapi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Bukankah begitu?” Rara Wulan memang tidak dapat menjawab lain kecuali mengangguk mengiakan. “Ya,“ katanya, “Ayah memang belum pernah melamarnya.” “Nah, dalam keadaan demikian, sikap Raras menjadi goyah. Justru karena sikap Raden Teja Prabawa sendiri. Raras mulai menyadari, bahwa hubungan mereka, maksudku antara Raras dan Raden Teja Prabawa, tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, maka Raras mulai bersikap bahwa ia harus mulai menjauhi Raden Teja Prabawa. Bukan orangnya, karena mereka berdua akan dapat tetap bersahabat. Tetapi persoalan khusus yang sebelumnya terasa mulai menjerat hati itu.” Rara Wulan tiba-tiba memotong, “Katakanlah, bahwa Raras tidak mencintai Kakangmas Teja Prabawa lagi.” “Ya,“ jawab Wacana. “Lalu apa hubungannya dengan Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan. “Aku akan berterus terang. Raras sekarang berada di jalan simpang,“ jawab Wacana. “Jalan simpang yang mana?“ desak Rara Wulan. “Ada dua orang laki-laki yang mulai membayang di angan-angannya,“ jawab Wacana. “Maksudmu ada dua orang laki-laki yang mencintainya, atau Raras mulai mencintai dua orang sekaligus?“ bertanya Rara Wulan. “Apa bedanya?“ bertanya Wacana. “Tentu berbeda,“ jawab Rara Wulan, “jika ada dua orang laki-laki yang mencintainya, itu bukan salah Raras. Tetapi jika Raras mencintai dua orang laki-laki setelah ia melepaskan diri dari Kakangmas Teja Prabawa, itu berarti bahwa Raras bukan seorang gadis yang baik.” Wajah Wacana menegang sejenak. Namun ia benar-benar sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari dengan sikap seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, “Sebaiknya jangan menjelekkan nama Raras. Katakanlah bahwa ada dua orang laki-laki yang mulai mencintainya,“ jawab Wacana. “Selain Kakangmas Teja Prabawa?“ bertanya Rara Wulan. Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab meskipun agak ragu, “Ya.” Tetapi kemudian dengan cepat ia berkata selanjutnya, “Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raras sendiri, bahwa ia tidak dapat lagi mengharapkan Raden Teja Prabawa untuk melindunginya di masa mendatang.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Dari sisi yang mana sebenarnya kau berangkat? Dari sisi Raras atau dari sisi laki-laki yang mencintainya?” Akhirnya Wacana tidak mau berbicara berputar-putar lagi. Katanya, “Aku tidak sempat memikirkannya. Tetapi yang penting, aku akan berbicara dengan Sabungsari. Kita tidak dapat bersama-sama hadir di hati Raras. Karena itu, salah seorang di antara kita harus menyingkir.” Meskipun sejak sebelumnya Glagah Putih sudah menduga bahwa Sabungsari menaruh perhatian terhadap Raras, tetapi orang lain tentu belum dapat menilainya demikian. Sabungsari tidak pernah berhubungan dengan Raras secara khusus. Bahkan Sabungsari dengan sengaja telah menjauhkan dirinya dari Raras, bahkan dari Mataram, sebagaimana tadi dikatakannya. Dalam pada itu Sabungsari pun merasa heran pula. Sedangkan yang lain bahkan terkejut karenanya, justru karena pengakuan Wacana. Hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kenapa kau menganggap Kakang Sabungsari terlibat dalam lingkaran hubungan dengan Raras? Sepengetahuanku, seperti dikatakan Kakang Sabungsari, ia belum begitu mengenal Raras, dan Raras pun belum begitu mengenalnya. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa Kakang Sabungsari tertarik kepada Raras? Dan bagaimana mungkin kau sendiri terlibat di dalamnya, jika yang dimaksudkan dua orang laki-laki itu kau dan Kakang Sabungsari? Bukankah kau sepupu Raras?” “Siapapun aku, aku tidak menghiraukannya,“ jawab Wacana. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berusaha menengahi, “Aku mengerti sekarang. Ternyata Raras ingin menarik diri dari hubungannya yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, meskipun mereka masih akan dapat tetap bersahabat. Kemudian Wacana, meskipun saudara sepupu Raras, telah jatuh cinta kepada Raras. Tetapi Wacana menduga bahwa Sabungsari pun ternyata mencintai Raras juga, sehingga Wacana minta agar Sabungsari menyingkir dari persoalan yang berhubungan dengan Raras.” “Ya,“ jawab Wacana tegas, “aku minta jawaban Sabungsari.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Sejak semula sudah aku katakan, Wacana. Aku tidak begitu mengenal Raras. Raras pun tidak begitu mengenal aku. Aku tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan Raras. Apalagi bagi masa depannya yang panjang itu. Aku orang asing bagi Raras, dan Raras orang asing bagiku.” Wacana mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia berkata, “Kau tidak usah berbelit-belit Sabungsari. Apapun yang kau katakan, tetapi bagiku kau adalah orang yang akan dapat menghalangi niatku untuk mendekati Raras. Bukan sebagai seorang kakak sepupu, tetapi sebagai seorang laki-laki. Raras bagiku bukan sekedar adik sepupu, tetapi aku memang mencintainya.” Sebelum Sabungsari menjawab, maka Rara Wulan telah mendahuluinya bertanya, “Bagaimana sikapmu terhadap Kakangmas Teja Prabawa? Bukankah justru kau orang ketiga yang berdiri di antara Kakangmas Teja Prabawa dengan Raras?” “Aku tidak merasa perlu untuk berbicara tentang Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa telah tersisih dari hati Raras. Dan itu sama sekali bukan salahku,“ jawab Wacana, yang kemudian sekali lagi berkata, “Aku ingin mendengar jawaban Sabungsari.” “Kau sudah tahu jawabku Wacana. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Raras,“ jawab Sabungsari. “Kenapa kau tidak bersikap jantan Sabungsari? Kenapa kau harus mengingkarinya? Apakah kau juga tidak berani bertanggung jawab, seperti Raden Teja Prabawa?” “Apa yang harus aku pertanggung-jawabkan Wacana? Aku justru ingin tahu, kenapa kau menuduhku menyaingimu dalam hubungan dengan Raras. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku berniat mendekati Raras, dan bahkan menggeser Raden Teja Prabawa yang sudah sejak lama berhubungan dengan Raras.” “Aku tidak mau mendengar kata-katamu selain sikapmu terhadap Raras. Kau harus berjanji sebagai seorang laki-laki bahwa kau tidak akan mendekati Raras lagi,“ berkata Wacana. “Wacana,“ akhirnya Sabungsari juga kehilangan kesabaran, “meskipun aku tidak tahu pasti apakah yang kau maksud, tetapi aku ingin memperingatkanmu, bahwa aku bukan pengecut. Kau tahu itu. Aku sudah dengan suka-rela turun ke susukan Kali Opak untuk membantu membebaskan Raras. Sebelumnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menghadapi Ki Manuhara sebelum Bajang Bertangan Baja itu datang. Persoalan yang melibatkan aku ke dalamnya bukan sekedar soal perempuan, tetapi persoalan yang lebih luas lagi tentang Mataram. Karena itu, maka aku tidak mau kau menyudutkan aku tanpa alasan, seakan-akan asal saja kau ingin mencari perkara. Jika kau ingin menantang aku, katakanlah, bahwa kau menantang aku. Dengan cara apa yang kau kehendaki. Tetapi kau tidak dapat memperlakukan aku seperti itu.” Wajah Wacana pun menjadi merah. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Sabungsari. Jika kau ingin aku berkata lebih terbuka, baiklah. Bahwa kau bagiku adalah penghalang utama, justru aku dengar langsung dari Raras. Raras sendiri mengatakan bahwa ia mulai tertarik kepada seorang laki-laki muda yang telah melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Apalagi setelah itu kau dengan sengaja berkali-kali datang ke rumah Raras dengan alasan apapun juga. Dengan membawa perisai beberapa orang, agar kau dapat mengelakkan tuduhan bahwa kau sengaja memancing perhatian Raras.” Jantung Sabungsari terasa berdegup semakin keras. Darahnya seakan-akan menjadi panas memanasi urat-urat nadinya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang telah dibebaskannya itu justru menaruh perhatian yang demikian besar kepadanya. Namun dalam pada itu, Wacana berkata selanjutnya, “Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, seolah-olah Raras benar-benar telah jatuh cinta kepadamu. Yang terjadi pada gadis yang baru menginjak dewasa itu adalah sekedar kekaguman karena kau telah dianggap mampu menolongnya, melindunginya dan bertanggung jawab atas keselamatannya. Tetapi perasaan itu pada saatnya akan larut dengan sendirinya, jika pandangannya mengenai kehidupan telah berkembang. Karena itu, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menemuinya lagi dimanapun juga. Juga seandainya Raras mencarimu ke Tanah Perdikan ini.” Tiba-tiba saja dada Sabungsari bergejolak seperti gejolaknya laut yang diaduk oleh angin pusaran. Gelombang yang menggelegar membentur dinding hatinya yang goncang karena pengakuan Raras. Sementara itu Agung Sedayu dan mereka yang mendengarkan pembicaraan itu justru bagaikan terbungkam. Mereka tidak segera dapat mencari jalan untuk menengahinya. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun kemudian berusaha untuk menyela, “Jika demikian, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan dengan hati yang dingin. Jika kita menghanyutkan diri pada arus perasaan kita masing-masing, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Bahkan mungkin akan bertambah rumit. Persoalan yang kalian hadapi akan menyangkut pihak ketiga, justru pihak yang menentukan, yaitu Raras. Bukankah sebaiknya kalian mendengarkan pendapat Raras?” “Aku tidak menganggap perlu,“ sahut Wacana, “yang penting bagiku adalah janji Sabungsari. Jika Sabungsari tidak lagi menemui Raras dengan alasan apapun juga, maka lambat laun kekaguman Raras akan menjadi luntur. Raras akan dapat berpikir lebih baik dan berdasarkan pertimbangan nalar. Bukan sekedar perasaan kagum yang berlebihan.” Agung Sedayu masih akan menyahut, tetapi Sabungsari-lah yang kemudian mendahuluinya, “Wacana. Jika demikian sikap Raras terhadapku, maka dengarlah jawabku. Aku tidak akan berkisar dari tempatku berdiri sekarang. Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan Raras. Tetapi sikapmu memaksa aku untuk tidak bergeser sejengkal pun. Aku tanggapi sikapmu sebagai seorang laki-laki dengan cara seorang laki-laki pula. Aku akan melayani apa saja yang kau maui dariku.” Wajah Wacana menjadi tegang. Namun ia melihat sinar memancar dari mata Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki maka Sabungsari benar-benar telah dibakar oleh tantangan Wacana. Dengan cepat Agung Sedayu mencoba untuk meredakan suasana. Katanya, “Apakah kita tidak dapat berbicara dengan cara yang lebih baik? Bukankah kita bukan kanak-kanak yang sedang berebut durian runtuh?” “Agung Sedayu,“ jawab Sabungsari, “aku sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Raras. Aku tidak tahu bagaimana sikap Raras terhadapku. Bahkan aku sekarang sudah berada di tempat yang jauh dari rumah Raras. Tetapi Wacana memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku sebagai seorang laki-laki.” “Aku mengerti,“ jawab Agung Sedayu, “aku harap Wacana pun dapat mengerti pula. Bukankah yang tersirat dari pernyataan Sabungsari itu sudah merupakan sebuah pernyataan, bahwa ia tidak akan melibatkan dirinya dengan kehidupan Raras?” “Itulah yang ingin aku dengar dari mulut Sabungsari,“ jawab Wacana. “Bukankah hal itu sudah dikatakannya, bahwa ia orang asing bagi Raras dan Raras adalah orang asing bagi Sabungsari?” “Tidak,“ tiba-tiba Sabungsari memotong, “aku cabut pernyataanku justru karena sikap Wacana. Jika aku menyingkir dan menyatakan janji itu kepada Wacana, maka aku akan dianggapnya sebagai seorang pengecut. Apalagi Raras sendiri sudah mengatakan bahwa ia mengagumi aku, dan sudah tentu tertarik kepadaku. Karena itu, maka aku tidak akan menghindar dan mengingkari sikap seorang laki-laki. Jika benar Raras tertarik kepadaku dengan alasan apapun juga, maka aku akan menyambutnya dan menghormati sikapnya, apapun akibatnya.” “Bagus,“ jawab Wacana, “jika demikian, kita akan menentukan siapa yang akan minggir dari persoalan ini.” “Aku akan melayanimu, cara apapun yang kau kehendaki.” “Kita selesaikan persoalan kita di arena perang tanding. Siapa yang kalah, harus mengakui kekalahannya dengan jantan, dan untuk seterusnya akan memegang janji untuk tidak berhubungan lagi dengan Raras dengan alasan apapun juga,“ jawab Wacana. “Bagus,“ jawab Sabungsari, “aku akan menerima tantanganmu ini. Bahkan aku menjadi tidak sabar lagi, kapan perang tanding yang kau maksudkan itu akan dilaksanakan.” “Kau yang menentukan,“ jawab Wacana, “kau pula yang akan menunjuk saksi yang adil. Bahkan seandainya tidak ada orang yang dapat dianggap adil, siapapun dapat kau tunjuk sebagai saksi, karena kita masing-masing pasti akan mengakui di dalam hati kita, siapakah sebenarnya yang menang di antara kita.” “Aku tidak memerlukan saksi,“ jawab Sabungsari, “jika kau merasa perlu, carilah sendiri. Aku setuju dengan pendapatmu, kita akan tahu pasti siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perang tanding itu.” “Tidak Sabungsari,“ Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kalian memerlukan saksi. Sebenarnya aku condong untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dari perang tanding. Apakah lambang kejantanan seseorang itu hanya dapat dilihat dengan kekerasan? Apakah dengan kekerasan kalian cukup menghargai sikap dan perasaan Raras?” “Sejak semula aku tidak mengetahui perasaan Raras yang sebenarnya. Wacana telah datang dengan sikap dan caranya yang tidak aku sukai. Karena itu, maka aku memang berniat untuk berperang tanding,“ jawab Sabungsari, yang nampaknya telah mengeraskan hatinya. Ia benar-benar tersinggung oleh sikap Wacana, sehingga tidak ada lagi jalan kembali dari keputusannya itu. Sementara itu Wacana pun telah membulatkan tekadnya pula. Ia harus menyingkirkan Sabungsari dengan cara yang telah dipilihnya. Ia berharap Sabungsari bersikap ksatria, sehingga ia akan memegang janjinya jika ia memang dapat dikalahkannya. Karena itu, maka niat untuk berperang tanding itu tidak dapat diurungkan lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah berusaha untuk menegakkan sifat ksatria kedua anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan itu. “Aku akan menjadi saksi bersama Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. Ternyata baik Wacana maupun Sabungsari tidak ingin menunda penyelesaian yang telah mereka pilih. Mereka sepakat untuk membuat penyelesaian, besok saat fajar menyingsing. Demikianlah, maka malam itu Wacana bermalam di rumah Agung Sedayu. Anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok. Demikian ia selesai makan malam, maka iapun telah memasuki bilik yang disediakan baginya, di ujung gandok sebelah kanan. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar nafasnya mengalir dengan tenang dan teratur. Ternyata Wacana itu sudah tertidur nyenyak. Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga menganggap bahwa Wacana terlalu yakin akan dirinya. Perang tanding itu dianggapnya sebagai permainan saja, tanpa harus direnunginya dan apalagi dipikirkannya berulang kali. Di bilik yang lain, Sabungsari duduk bersama Glagah Putih yang lebih muda daripadanya. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, “Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Glagah Putih dapat mengerti sepenuhnya sikap Sabungsari. Bahkan Glagah Putih sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengekang perasaannya, seandainya ia yang mengalami perlakuan sebagaimana dialami Sabungsari. Meskipun demikian, justru karena Glagah Putih tidak mengalami, ia dapat mengambil jarak dari persoalan yang dihadapi Sabungsari itu. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap Kakang?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hampir saja menjadi mata gelap. Aku sudah berjuang sejauh dapat aku lakukan untuk menahan diri. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan Raras. Bahkan aku benar-benar ingin menjauh daripadanya, meskipun aku tidak ingkar bahwa aku memang tertarik kepadanya. Tetapi sikap Wacana sangat menyakitkan hati.” “Aku mengerti,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “tetapi jika aku boleh mengetahuinya, justru setelah Wacana datang kepadamu dengan sikapnya yang menyinggung perasaanmu, apakah kau akan mendekati Raras atau justru akan menjauhinya? Tanpa menghiraukan kesudahan dari perang tanding yang akan kau lakukan esok pagi.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku masih memikirkan Teja Prabawa. Aku justru menjadi curiga, mungkin Wacana dengan sengaja mempengaruhi Raras untuk menjauhi Raden Teja Prabawa, karena Wacana sendiri menginginkannya meskipun ia saudara sepupu Raras.” “Apakah kau akan tetap menghindari Raras?“ bertanya Glagah Putih. Sabungsari tidak segera menjawab. Dengan sayu Sabungsari menatap lampu minyak yang berkeredipan ditiup angin yang menyusup di sela-sela dinding. “Glagah Putih,“ berkata Sabungsari kemudian, “seperti aku katakan tadi, aku masih memperhitungkan Raden Teja Prabawa. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan antara keduanya. Kecuali jika Raras benar-benar tidak dapat lagi diharapkan untuk kembali kepada anak muda itu.” “Seandainya Raras masih dapat diharapkan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, bagaimana dengan engkau sendiri?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku akan merasa berbahagia jika keduanya dapat bersatu kembali dalam arti yang dalam. Bukan karena tekanan dari orang tua yang manapun juga,“ desis Sabungsari. Namun terdengar suaranya bergetar tertahan-tahan. “Kau sudah mempertaruhkan jiwamu untuk membebaskannya. Apakah kau masih harus berkorban lagi?“ bertanya Glagah Putih. “Apakah ketika aku ikut membebaskannya, terbersit pikiran bahwa akan timbul persoalan seperti ini? Aku membantumu membebaskan Raras, karena aku tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang akan menjadi sisihan Raden Teja Prabawa. Bukankah karena itu, maka kita semuanya berusaha untuk membebaskannya? Atau kita harus menyerahkan Rara Wulan? Seandainya kita tidak memikirkan untuk mengembalikan Raras kepada Raden Teja Prabawa, mungkin kita condong untuk sekedar menyembunyikan atau melindungi Rara Wulan, sementara persoalan Raras kita percayakan kepada Ki Wirayuda. Adalah memang menjadi tugasnya, atau katakanlah tugas para prajurit Mataram, untuk melindungi rakyatnya. Tetapi kita tidak mau menyerahkan Rara Wulan dan tidak mau membiarkan Raras hilang untuk seterusnya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kau benar Sabungsari. Tetapi kita saat itu lebih condong membebaskan Raras sebagai satu laku untuk menegakkan kemanusiaan dan paugeran. Meskipun demikian, bahwa persoalan Raras menyangkut kita, adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan erat dengan Raden Teja Prabawa. Sementara itu Raden Teja Prabawa adalah kakak Rara Wulan. Sedangkan yang dikehendaki oleh Raden Antal sebenarnya adalah Rara Wulan.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Bukan maksudku mengingkari laku kemanusiaan sebagai alasan utama dari langkah kita. Tetapi bagaimanapun juga, kaitannya adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Teja Prabawa.” Glagah Putih yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Jadi kau memang berniat untuk memberikan pengorbanan ganda?” “Bukan maksudku untuk menjadi pahlawan, atau katakanlah agar aku dianggap sebagai seorang yang luhur budi dan pantas untuk mendapat pujian setinggi bintang. Tetapi sebenarnyalah nuraniku berkata demikian.” “Jika ternyata Raras dan Raden Teja Prabawa sudah tidak dapat bertaut kembali?“ desak Glagah Putih. “Terserah kepada Raras,“ jawab Sabungsari. “Dan arti dari perang tanding esok?” “Bagiku tidak ada hubungannya langsung dengan Raras. Aku menerima tantangan itu karena hatiku terbakar oleh sikap Wacana, yang bagiku sangat menyinggung perasaanku,“ jawab Sabungsari. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia merasa lebih muda, tetapi dipaksanya bibirnya berkata seakan-akan menasehati, “Tetapi kau harus mampu menahan diri Kakang. Apalagi setelah semua jalur ilmumu terbuka, demikian pula saluran tenaga dalammu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Wacana, yang nampaknya begitu yakin akan kemampuan diri. Ia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi meskipun ia juga masih terhitung muda.” Glagah Putih hanya dapat mengangguk kecil. Ia juga tidak tahu, seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh Wacana. Namun ia sependapat bahwa menilik sikap dan keyakinan dirinya, Wacana agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Sambil bangkit Glagah Putih pun kemudian berkata, ”Baiklah. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Wacana telah tertidur nyenyak di dalam biliknya. Kau perlukan tenagamu besok, sehingga kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Katanya dengan nada dalam, “Mudah-mudahan kau tidak usah mengalami persoalan seperti ini. Persoalan yang sama sekali tidak aku harapkan. Justru terjadi pada diriku.” Glagah Putih pun kemudian meninggalkan bilik Sabungsari. Di luar udara malam terasa dingin. Angin bertiup lembut mengusap wajah Glagah Putih. Di luar kehendaknya, maka Glagah Putih pun berjalan lewat halaman samping menuju ke halaman belakang. Malam menjadi semakin kelam. Bintang-bintang nampak bergayutan di langit yang kehitam-hitaman. Namun telinga Glagah Putih yang tajam tiba-tiba saja mendengar sesuatu. Langkah lembut di kebun belakang. Gemerisik dedaunan kering yang terinjak kaki telah menimbulkan suara yang halus. “Tentu langkah seseorang yang sangat berhati-hati,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Justru karena itu, maka Glagah Putih bergeser selangkah dengan sangat berhati-hati pula. Kemudian iapun telah berjongkok di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun. Tetapi Glagah Putih lupa bahwa beberapa ekor ayam yang dipelihara anak yang tinggal di rumah itu tidur di atas cabang-cabang batang perdu itu, sehingga karena itu maka ayam-ayam itu telah terbangun. Meskipun ayam-ayam itu tidak terkejut dan tidak berkotek keras-keras karena Glagah Putih bergerak dengan sangat berhati-hati, namun beberapa ekor di antaranya bergeser menjauhinya. Ternyata suara ayam yang bergeser itu telah mengejutkan seseorang yang langkahnya telah didengar oleh Glagah Putih. Yang kemudian terjadi adalah orang itu berlari dengan tangkasnya dan meloncati dinding halaman. Glagah Putih memang mencoba untuk mengejarnya. Iapun meloncat ke atas dinding dan hinggap seperti seekor burung yang hinggap di atas cabang pepohonan. Namun Glagah Putih tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat seseorang berlari. Iapun tidak melihat dedaunan yang bergoyang tersentuh tubuh orang yang berlari itu. Ia juga tidak mendengar derap kakinya. Glagah Putih memang tidak mendengar dan tidak melihat sesuatu. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar suara berdesing. Ilmunya yang mapan segera mengisyaratkan kepadanya, bahwa bahaya tengah menyambarnya dari kegelapan di belakang dinding halaman rumah Agung Sedayu. Dengan gerak naluriah maka Glagah Putih telah meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Ternyata sebuah lingkaran besi baja yang bergerigi hampir saja mengoyak kulitnya. Dengan cepat Glagah Putih meloncat keluar dinding. Namun ia mendengar derap langkah orang berlari yang sudah menjadi semakin jauh. Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia justru kembali meloncat ke atas dinding. Ketika dengan saksama ia memperhatikan cabang pohon yang tumbuh di kebun di belakang ia berdiri, maka dalam kegelapan malam ia melihat lingkaran baja yang bergerigi itu tertancap dalam-dalam. Dengan hati-hati ia meraba benda yang bergerigi tajam itu dan dengan kuat ia menghentakkannya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi berdebar-debar. Jika saja gerigi itu tertancap di dadanya. Glagah Putih kemudian meloncat turun sambil membawa gerigi besi itu. Ia ingin memberitahukan hal itu kepada Agung Sedayu. Meskipun seandainya kakak sepupunya itu sudah tertidur, maka ia akan membangunkannya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ berkata Glagah Putih, yang segera menghubungkan serangan itu dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang disebut Resi Belahan itu. Glagah Putih pun kemudian kembali masuk ke dalam rumahnya lewat pintu yang masih belum diselarak. Pintu darimana ia keluar tadi. Ternyata Agung Sedayu masih belum tidur. Ia masih mendengar suaranya perlahan-lahan dari dalam biliknya. Semula Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian memaksa diri untuk memanggil kakak sepupunya itu, karena ia menganggap peristiwa itu penting untuk segera diketahui oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu memang keluar dari biliknya bersama Sekar Mirah, sambil bertanya, “Ada apa Glagah Putih?” bersambung ApiDi Bukit Menoreh ( 001~396) Skip to main content. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services Category Archives Buku 281 – 290 Buku 281 Seri III Jilid 81 ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih pun kemudian duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Diceritakannya apa yang telah dilihatnya di kebun belakang. Ditunjukannya lingkaran besi baja yang bergerigi itu kepada Agung Sedayu. Gerigi yang hampir saja mengoyak kulitnya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ desis Glagah Putih. “Ya,” Agung … Baca lebih lanjut → Buku 282 Seri III Jilid 82 admin ♦ 15 Juli 2010 Meskipun Prastawa tidak mengikuti apa yang terjadi atas seorang kawannya itu, namun nalurinya seakan-akan telah memperingatkannya agar ia cepat menyelesaikan lawannya. Ketika ia mendengar seseorang mengaduh kesakitan tidak jauh dari padanya, maka Prastawa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan cepat ia berusaha untuk menyerang lawannya di sela-sela putaran bindinya. Ketika ujung pedangnya berdesing dekat kening lawannya, … Baca lebih lanjut → Buku 283 Seri III Jilid 83 admin ♦ 15 Juli 2010 Tangan Glagah Putih memang tergetar. Tetapi dengan cepat ia sudah menguasai pedangnya sepenuhnya. Sementara itu, lawannya telah meloncat jauh surut. Meskipun goloknya masih di tangannya, namun hampir saja goloknya itu terlepas. Telapak tangannya terasa panas bagaikan tersengat api. Benturan yang terjadi itu memang terlalu keras. Untuk beberapa saat golok yang besar itu tertunduk di sisi … Baca lebih lanjut → Buku 284 Seri III Jilid 84 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya. Kadang-kadang mereka memang berada di antara para pengawal. Tetapi di pagi hari mereka biasanya ada di rumah. Seandainya mereka ikut meronda, maka lewat tengah malam mereka pulang,“ jawab Prasanta. “Baiklah. Tunggulah sampai esok pagi. Kau akan mendengar keputusanku,“ berkata Resi Belahan. Malam itu juga Resi Belahan telah memanggil orang-orang terpenting di antara orang-orang yang … Baca lebih lanjut → Buku 285 Seri III Jilid 85 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya Paman. Jika pertempuran telah terjadi, maka aku akan membawa pasukan terkuat di sisi barat ke selatan.” “Jangan terlambat. Kita harus memperhitungkan kemungkinan buruk bagi pasukan yang ada di sisi selatan,” berkata Ki Gede. “Aku akan menemui pemimpin pengawal di sisi barat,” berkata Prastawa kemudian. “Jangan lewat jalan di depan rumah Agung Sedayu,” pesan Ki … Baca lebih lanjut → Buku 286 Seri III Jilid 86 admin ♦ 15 Juli 2010 Dua orang pengawal itu pun berlari-lari mengambil sebuah lincak bambu kecil di serambi dan dibawa kembali turun ke halaman. Dengan sangat hati-hati Rara Wulan telah diangkat dan diletakkan keatas lincak itu untuk diusung ke pendapa. Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak ingat lagi lukanya sendiri. Sementara Ki Gede setelah memungut kembali tombaknya, telah naik … Baca lebih lanjut → Buku 287 Seri III Jilid 87 admin ♦ 15 Juli 2010 Sekali-sekali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meskipun lampu-lampu minyak tetap menyala, … Baca lebih lanjut → Buku 288 Seri III Jilid 88 admin ♦ 15 Juli 2010 Ketika mereka memasuki regol halaman, maka Sabungsari berdesis, “Agaknya Ki Rangga Wibawa sudah ada di rumah.” “Mungkin. Jika Ki Rangga berangkat pagi-pagi, maka ia sudah lama berada di rumah,” jawab Glagah Putih. Sabungsari mengangguk-anggguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun ternyata keduanya tidak melihat seekor kuda pun berada di halaman. Karena itu, maka Glagah Putih justru … Baca lebih lanjut → Buku 289 Seri III Jilid 89 admin ♦ 15 Juli 2010 Beruntunglah bahwa beberapa saat kemudian, ada beberapa orang lagi yang datang menemui mereka. Demikian mereka mendengar bahwa Pandan Wangi dan Swandaru datang, dua tiga orang bebahu telah memerlukan datang untuk sekedar berbincang dengan mereka. Seperti yang direncanakan, maka ketika senja turun Swandaru pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa justru … Baca lebih lanjut → Buku 290 Seri III Jilid 90 admin ♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang … Baca lebih lanjut → Navigasi pos

Namunyang cukup berbeda adalah pertempuran di Api di Bukit Menoreh tidak selalu pertempuran klasik antara baik dan jahat. Pada perang antara Pajang dan Mataram, meskipun ada beberapa tokoh jahat namun perang itu terkesan "sopan", karena Mataram yang masih menghormati Pajang. Juga perang antara Mataram dan Madiun, yang juga perang

♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Nampaknya Kanthi telah menjadi benar-benar berputus-asa. Karena itu, kedatangan Rara Wulan merupakan sebuah harapan baru baginya, karena Kanthi merasa pernah mendapat perlindungan darinya. Sehingga dengan demikian, dekat dengan Rara Wulan dapat memberikan ketenangan baginya.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun berdesis, “Tetapi justru di sini Kanthi akan menjadi dekat dengan Prastawa. Anak muda yang pernah diangan-angankannya, Namun yang kemudian seakan-akan telah menghempaskannya ke dalam keputus-asaan.” “Aku sempat memperbincangkannya dengan Ki Jayaraga. Kami juga mencemaskan bahwa tiba-tiba tanpa disengaja Kanthi bertemu dengan Prastawa, sehingga membuat luka di hatinya menjadi parah kembali,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi waktu itu kami berpendapat, bahwa untuk sementara kita harus menyelamatkan Kanthi lebih dahulu. Mungkin kita dapat menemui Prastawa dan memberitahukan tentang keadaan Kanthi, sehingga Prastawa jangan melintas lewat jalan di depan.” Sekar Mirah mengangguk-angguk, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar langkah mendekati pintu dapur. Sejenak kemudian Rara Wulan bersama Kanthi telah masuk ke dapur. “O,” Sekar Mirah pun bangkit. Demikian pula Glagah Putih. Sementara Rara Wulan berkata, “Kanthi ingin ke pakiwan. Jika ia mandi, agaknya tubuhnya akan menjadi segar.” “Silahkan Kanthi,” sahut Sekar Mirah, “mandilah. Nanti kau akan dapat beristirahat dengan baik.” Diantar Rara Wulan, maka Kanthi pun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Demikian Rara Wulan dan Kanthi keluar dari dapur untuk pergi ke pakiwan, maka Wacana telah masuk ke dalam dapur. Dengan kerut di kening Wacana itu bertanya, “Siapakah perempuan yang bersama Rara Wulan itu?” “Kanthi,” jawab Glagah Putih yang masih berada di dapur. “Jadi itukah Kanthi yang sering kalian bicarakan?” bertanya Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk. “Kanthi yang menjadi putus-asa dan kehilangan kendali itu?“ desak Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk lagi. Wacana menarik nafas dalam-dalam Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa ia justru ikut kemari?“ “Pikirannya sedang kalut,” jawab Sekar Mirah, “ia telah mencoba membunuh diri sebelum Rara Wulan dan Glagah Putih kemarin sampai di Kleringan.” Wacana ternyata juga terkejut. Dahinya berkerut dalam. Namun kemudian sambil menunduk ia berdesis, “Kasihan. Ia memerlukan pertolongan yang dapat mengembalikannya bergairah memandang masa depannya.” “Ya,” jawab Sekar Mirah sambil mengangguk-angguk. Wacana tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian meninggalkan dapur itu. Glagah Putih dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Tetapi keduanya tidak berbicara lagi. Glagah Putih pun kemudian juga meninggalkan Sekar Mirah sendiri di dapur. Sekar Mirah yang kemudian tinggal di dapur seorang diri, termenung sambil menunggui api yang memanasi periuk. Namun angan-angannya telah menerawang mengamati jalan kehidupan Kanthi. Ketika kemudian Glagah Putih pergi ke serambi samping, maka dilihatnya Wacana termenung sendiri. Demikian Glagah Putih duduk di sebelahnya, maka Wacana itu pun berdesis, “Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa kalian tidak pulang kemarin.” “Kami pulang lewat senja dari Kleringan,” jawab Glagah Putih. “Kalian tempuh perjalanan dari Kleringan semalam suntuk?” bertanya Wacana pula. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kami harus menyesuaikan diri dengan keadaan Kanthi. Ia tidak dapat berjalan cepat. Apalagi jalan yang turun naik lewat pegunungan. Bahkan di malam hari. Setiap kali kami harus beristirahat, kadang-kadang untuk waktu yang agak lama. Tetapi cara itulah yang terbaik yang dapat kita tempuh waktu itu.“ Wacana mengangguk-angguk. Ia memang dapat membayangkan perjalanan yang lambat dan sering berhenti beristirahat. Apalagi berjalan di malam hari dalam kegelapan. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Agung Sedayu yang telah berjanji untuk segera pulang, benar-benar telah memenuhi janjinya. Tetapi dahinya berkerut ketika ia melihat Glagah Putih dan Wacana menyongsongnya. Keduanya telah keluar lewat pintu seketheng, turun ke halaman depan. “Kau sudah kembali Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Kau membuat kami gelisah. Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?” bertanya Agung Sedayu pula. “Tidak, Kakang.” “Syukurlah. Dimana Ki Jayaraga sekarang?” bertanya Agung Sedayu lebih lanjut. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Mungkin ia sudah berada di dalam biliknya. Nampaknya Ki Jayaraga baru membenahi diri.” “Baiklah. Aku sudah berjanji kepada Mbokayumu untuk segera pulang dan menyusulmu ke Kleringan. Tetapi karena kalian sudah kembali, maka nanti aku akan kembali ke barak,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami pulang sambil membawa Kanthi.” “Kanthi? Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi ketika Glagah Putih akan menjawabnya, Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Nanti kita berbicara bersama-sama dengan semuanya. Aku akan menemui Mbokayumu. Dimana Mbokayumu?” “Tetapi Kakang,” berkata Glagah Putih, “sebelum Kakang bertemu dengan Kanthi, sebaiknya aku memberitahukan bahwa di rumahnya Kanthi telah mecoba untuk membunuh diri.” “O,“ Agung Sedayu pun terkejut pula. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Itukah agaknya, maka Kanthi ikut kemari?” “Antara lain, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Baiklah. Aku akan berbicara dengan mbokayumu.” berkata Agung Sedayu sambil menuntun kudanya untuk diikat di sebelah pendapa. Agung Sedayu pun kemudian telah pergi ke dapur dan berbicara dengan Sekar Mirah, sementara Rara Wulan telah mengajak Kanthi ke biliknya. “Kita dapat berdua di sini,” berkata Kara Wulan. Kanthi mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan kalian di sini.” Dalam pada itu, di dapur, Sekar Mirah telah menjelaskan kepada Agung Sedayu sebagaimana diceritakan oleh Glagah Putih tentang Kanthi. Sekar Mirah pun telah mengatakan pula bahwa Glagah Putih harus menemui Prastawa dan minta agar untuk sementara tidak melintas lewat di depan rumah mereka. Agung Sedayu mendengarkan pemberitahuan itu dengan saksama. Kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Nanti sore kita dapat duduk bersama dan berbicara bersama-sama.” “Kau akan berbicara tentang Kanthi dan niatnya membunuh diri?” bertanya Sekar Mirah. “Ah, tentu tidak,” jawab Agung Sedayu, “kita berbicara tentang rumah kita yang terasa menjadi semakin sempit.” Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bagaimana jika semakin sempit? Apakah kita akan membangun lagi untuk memperbesar rumah ini?” Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Jika panen kita berlimpah selama sepuluh musim, maka tabungan kita akan dapat kita pergunakan untuk memperbesar rumah ini satu wuwung lagi.” Sekar Mirah pun tertawa pula. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata pula, “Tetapi bukankah kita tidak jadi pergi ke Kademangan Kleringan?” “Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah. “Barangkali kau sudah terlanjur berniat pergi,” jawab Agung Sedayu. “Ah, kau,“ desis Sekar Mirah. “Jika kita tidak jadi pergi, maka aku akan kembali ke barak lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kenapa? Bukankah Kakang sudah memberitahukan bahwa Kakang akan pulang, dan sudah memberikan pesan-pesan?” “Ya. Tetapi agaknya ada berita penting datang dari Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Berita tentang apa?” bertanya Sekar Mirah. “Kanjeng Adipati Pati meningkatkan kesiagaan prajuritnya,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalan apa sebenarnya yang merenggangkan hubungan antara Mataram dan Pati?” “Sebab yang langsung dapat diketahui orang lain adalah peristiwa yang terjadi di Madiun itu,” jawab Agung Sedayu. “Apakah Kakang percaya bahwa itu adalah sebab satu-satunya sehingga Kanjeng Adipati Pati tidak lagi mau menyentuhkan kakinya di paseban Mataram?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Sulit untuk dapat mengatakannya sekarang. Tetapi mungkin sekali ada sebab-sebab lain, yang selapis demi selapis bertimbun menjadi beban yang tidak tertanggungkan lagi bagi Kanjeng Adipati di Pati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa persoalan itu adalah persoalan para pejabat tinggi di Mataram dan Pati. “Jika Kakang akan kembali ke barak, sebaiknya Kakang temui meskipun hanya sebentar, Rara Wulan dan Kanthi,” berkata Sekar Mirah kemudian. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Sekar Mirah maka Agung Sedayu pun telah menemui Rara Wulan dan Kanthi. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu ketika Kanthi menangis lagi, “anggaplah rumah ini rumahmu sendiri. Kau akan merasa tenang di sini.” Kanthi mengangguk-angguk. Sambil mengusap air matanya ia berkata, “Terima kasih. Aku akan menjadi beban di sini.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng sambil tersenyum, “Tidak Kanthi. Kau justru akan dapat menemani Rara Wulan, yang selama ini sering melakukan kerja sendiri.” “Kerjaku lebih banyak mengurusi diriku sendiri Kanthi” potong Rara Wulan. “Jika demikian, kau akan banyak membantu mengurusi Rara Wulan,” Sekar Mirah-lah yang menyahut. “Ah,” desah Rara Wulan, sementara Kanthi yang matanya masih basah sempat juga tersenyum. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “aku masih harus kembali ke barak.” Sekar Mirah kemudian mengantar Agung Sedayu sampai ke tangga pendapa. Demikian pula Glagah Putih dan Wacana, juga berdiri tidak jauh dari Rara Wulan. “Sampai hari ini Adi Swandaru masih berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi berita penting itu tentu juga akan sampai ke Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya Glagah Putih berkata, “Mudah-mudahan Sabungsari mendapat kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya dengan Raras, sebelum ia ditarik ke medan perang jika perang itu benar-benar pecah.” “Ya,” sahut Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Juga Prastawa.” “Bukankah Kakang Swandaru sengaja menunggu sampai persoalan Prastawa itu selesai?” bertanya Sekar Mirah. “Orang tua Anggreni akan memberitahukan keputusan mereka apakah lamaran Prastawa diterima atau tidak, meskipun sekedar pernyataan resmi saja,” berkata Agung Sedayu. “Tentu tidak akan terlalu lama lagi,” desis Glagah Putih. “Kita akan menjadi sibuk,“ berkata Sekar Mirah, “bagaimanapun juga kita akan terlibat, langsung atau tidak langsung, saat Prastawa menikah. Demikian pula Sabungsari.” Agung Sedayu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku berharap semuanya segera terjadi.” Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun telah berpacu di punggung kudanya kembali ke barak. Sepeninggal Agung Sedayu, maka seisi rumahnya telah kembali ke dalam kerja masing-masing. Glagah Putih setelah sibuk membelah kayu bakar di belakang rumah, telah berada di sanggar. Wacana yang telah menjadi semakin baik, telah berada di sanggar pula. Sementara Ki Jayaraga agaknya benar-benar ingin beristirahat. Meskipun demikian, Ki Jayaraga itu telah berada di dalam sanggar pula, meskipun hanya sekedar duduk di atas amben sambil memperhatikan Glagah Putih yang berlatih. Bahkan sekali-sekali Ki Jayaraga telah menguap dan terkantuk-kantuk. Orang tua itu benar-benar tidak terlibat latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih, salah seorang murid Ki Jayaraga, yang diharapkan akan menjadi muridnya yang tidak terjerumus ke dalam laku kejahatan sebagaimana murid-muridnya yang terdahulu, yang sama sekali tidak dikehendakinya. Glagah Putih memang sekali-sekali memperhatikan gurunya. Namun iapun hanya tersenyum saja. Ia tahu bahwa Ki Jayaraga benar-benar merasa letih. Bukan karena perjalanan itu sendiri, tetapi justru karena dalam perjalanan itu mereka terlalu banyak berhenti dan beristirahat. Kelelahan Ki Jayaraga bukan pada wadagnya, justru karena ia harus bersabar mengikuti dan mempertimbangkan Kanthi. Demikianlah, maka Glagah Putih itu berlatih sendiri. Namun kemudian Wacana pun telah mulai dengan latihan-latihan pula, meskipun masih harus mengingat perkembangan keadaan tubuhnya. Ketika keduanya kemudian beristirahat, maka Wacana yang duduk di amben bambu di sebelah Glagah Putih itu pun bertanya, “Apakah kau pernah melihat gadis yang bernama Anggreni yang telah dilamar oleh Prastawa?” “Pernah,” jawab Glagah Putih, “ia juga gadis Tanah Perdikan, meskipun semula mereka tinggal di Mangir.“ “Apakah gadis itu cantik sekali?” bertanya Wacana. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia tidak segera menangkap maksud pertanyaan Wacana. Namun Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak mengenal gadis itu terlalu banyak. Hanya karena kami tinggal di lingkungan yang sama, maka kami saling mengenal. Tetapi hanya sepintas. Bahkan aku mulai memperhatikannya justru setelah aku tahu bahwa gadis itulah yang akan menjadi istri Prastawa. Dan ternyata kemarin lusa keluarga Prastawa telah mengirim utusan untuk menemui keluarga Anggreni.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Kenapa kau tanyakan kecantikan Anggreni itu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku memang mengira bahwa Anggreni adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan seperti bidadari.” “Kenapa kau sebenarnya?” Glagah Putih menjadi heran. “Jika tidak demikian, maka Prastawa tentu tidak akan menolak Kanthi,” desis Wacana. “Kenapa?” desak Glagah Putih. “Bukankah kau lihat bahwa Kanthi seorang gadis yang cantik,” jawab Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia mengerti maksud Wacana. Jika Anggreni bukan seorarg gadis secantik bidadari, maka Prastawa tentu tidak akan mengesampingkan Kanthi. Sambil mengangguk-angguk Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Ya. Menurut Prastawa tentu ada yang lebih menarik pada Anggreni daripada Kanthi. Tetapi pemilihan seseorang terhadap calon kawan hidupnya tidak semata-mata tergantung dari kecantikannya saja. Meskipun seseorang mendapat kesempatan untuk memilih yang lebih cantik, tetapi dapat saja ia memilih yang kurang cantik karena terdapat beberapa persesuaian dengan dirinya.” “Ya. Ya. Kau benar,” sahut Wacana dengan serta merta. Lalu katanya, “Jodoh memang tidak dapat diburu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa Wacana pun pernah mengalami kekecewaan yang sangat, karena seorang gadis sama sekali tidak menyadari bahwa gadis itu telah dicintai oleh Wacana. Untuk beberapa saat merekapun kemudian terdiam. Glagah Putih mengusap keringatnya. Dilihatnya Ki Jayaraga bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Namun ketika pembicaraan Glagah Putih dan Wacana yang tidak terlalu keras itu terdiam, maka Ki Jayaraga telah membuka matanya. “Aku memang merasa sangat letih,“ desis Ki Jayaraga. “Kenapa Guru tidak beristirahat di dalam bilik, dan barangkali dapat tidur lebih nyenyak?” bertanya Glagah Putih. “Di sini aku dapat tidur, justru karena aku mendengar derap kaki kalian berlatih, atau pembicaraan kalian yang lamat-lamat. Tetapi justru tidak di bilikku yang sepi,” jawab Ki Jayaraga dengan suara yang mengambang. Namun Ki Jayaraga pun kemudian telah bangkit dan berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Cepat bersiap. Kita akan berlatih bersama.” Glagah Putih tidak dapat menolah perintah gurunya. Ia segera bangkit dan bersiap untuk berlatih langsung bersama gurunya. Mula-mula gerakan mereka lamban saja. Namun semakin lama semakin cepat. Ketika tubuh Ki Jayaraga sudah menjadi panas, maka latihan itu pun menjadi semakin keras. Namun Glagah Putih memang bukan lagi pemula. Bahkan Glagah Putih telah mendapat kepercayaan dari gurunya untuk mewarisi ilmu Sigar Bumi. Karena itu, maka latihan itu pun kemudian rasa-rasanya telah mengguncang sanggar itu sendiri. Wacana telah sering melihat Glagah Putih berlatih. Iapun pernah melihat Ki Jayaraga berada di sanggar. Namun latihan itu telah membuat Wacana menjadi bingung. Dengan saksama ia mengikuti gerak keduanya. Namun kadang-kadang Wacana seakan-akan telah kehilangan satu dua unsur gerak yang terlampaui oleh pengamatannya. “Luar biasa,” desis Wacana, “aku ingin dapat berbuat lebih banyak, setidak-tidaknya ketrampilan dan kemampuan mengungkap tenaga dalam.” Sebenarnyalah bahwa Wacana juga memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan menyaksikan Glagah Putih berlatih bersama gurunya, maka Wacana merasa dirinya menjadi kecil. Tetapi Wacana pun merasa bahwa ia mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya. Glagah Putih telah mengatakan kepadanya bahwa anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan untuk berlatih bersamanya, sehingga memungkinkannya mengenali berapa unsur baru yang berarti bagi ilmunya. Demikianlah, latihan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru telah mengungkapkan segala tenaga dan kemampuan mereka, namun tidak sampai merambah memasuki batas ilmu-ilmu puncak mereka. Beberapa saat kemudian, maka Ki Jayaraga telah memberi isyarat untuk menghentikan latihan. Dengan demikian maka keduanya pun telah mengambil jarak, mengurangi tenaga mereka dengan gerakan-gerakan khusus. Baru kemudian mereka melangkah menepi. Keduanya nampak berkeringat. Glagah Putih bahkan seperti orang yang baru saja membenamkan diri di belumbang dengan seluruh pakaiannya. Namun dengan nada ringan Ki Jayaraga berkata, “Nah, aku sudah tidak merasa letih, dan tidak kantuk lagi.” Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Yang terjadi padaku justru sebaliknya Guru. Aku menjadi sangat letih sekarang.” “Beristirahatlah,” berkata gurunya, “aku akan pergi ke pakiwan.” “Guru masih basah oleh keringat,” berkata Glagah Putih. “Aku tidak akan segera mandi,” jawab Ki Jayaraga. Demikian Ki Jayaraga keluar, maka Wacana pun berdesis, “Aku ingin berlatih bersamamu.” “Baik. Kapan saja kita mempunyai waktu. Tentu saja jika keadaanmu sudah pulih kembali,” jawab Glagah Putih. “Aku sudah merasa bahwa tenaga dan kekuatan serta daya tahanku telah pulih kembali.” “Kita dapat mulai sedikit demi sedikit,” jawab Glagah Putih, yang kemudian telah duduk di samping Wacana untuk mengeringkan keringatnya. Ketika kemudian mereka keluar dari sanggar, maka mereka memang melihat Ki Jayaraga sedang menarik senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan. “Biarlah nanti aku isi, Guru,” berkata Glagah Putih yang mendekatinya. “Biar saja. Nanti aku kantuk lagi,” jawab Ki Jayaraga. Glagah Putih pun kemudian meninggalkan gurunya di pakiwan. Berdua mereka pergi ke serambi gandok. Namun Wacana telah mulai berbicara lagi tentang Kanthi. Demikianlah, maka sejak saat itu penghuni di rumah Agung Sedayu telah bertambah lagi. Di sore hari, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka seisi rumah itu pun telah berkumpul. Tidak ada persoalan penting yang mereka bicarakan, namun pertemuan seperti itu dimaksudkan oleh Agung Sedayu untuk meningkatkan saling pengertian di antara seisi rumah itu. Agar masing-masing merasa bahwa mereka adalah satu keluarga. Saling mengerti dan saling mempedulikan yang satu dengan yang lain. Dalam pertemuan itulah Wacana menjadi semakin mengenal Kanthi. Demikian pula Kanthi mulai mengenalnya. Di hari-hari berikutnya, perkenalan Wacana dan Kanthi pun menjadi cepat akrab. Mereka berusaha untuk saling mengerti dan saling mempedulikan. Namun setiap kali perasaan Kanthi masih saja selalu dihambat oleh keadaannya. Bagaimanapun juga Kanthi itu sedang mengandung, yang tentu saja semakin hari menjadi semakin bertambah besar. Tetapi dengan sengaja Wacana memang sering menyinggungnya. Ia ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa ia sudah mengetahui keadaan Kanthi seutuhnya. Wacana ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa sikapnya itu adalah sikap wajarnya, dan tidak akan dikejutkan lagi oleh kenyataan tentang diri Kanthi. Nampaknya hubungan Wacana dan Kanthi itu justru membuat Rara Wulan gembira. Gadis itulah yang paling banyak menaruh perhatian terhadap Kanthi yang menderita. Sementara itu, Glagah Putih memang sudah menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Glagah Putih telah menceritakan apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Iapun telah menceritakan pula,bahwa Kanthi sekarang berada di rumah Agung Sedayu. Prastawa mendengarkan keterangan Glagah Putih itu sambil mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga hatinya telah diketuk oleh kenyataan pahit yang dialami oleh Kanthi. “Tetapi itu memang bukan salahmu,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Yang kami minta sekarang adalah pengertianmu, untuk tidak lewat di depan rumah Kakang Agung Sedayu untuk beberapa hari ini.” Prastawa mengangguk-angguk. Pandan Wangi yang ikut mendengarkannya berkata, “Kau harus mencoba untuk mengerti Prastawa. Meskipun Tanah Perdikan ini bebas kau jelajahi, apalagi mengingat tugas-tugasmu, namun kau sebaiknya membiarkan Kanthi mendapat ketenangan di Tanah Perdikan ini, sampai goncangan-goncangan jiwanya itu dapat terkendali.” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Mbokayu. Tetapi kenapa Kanthi justru berada di Tanah Perdikan ini?” “Ia tidak memilih. Hatinya yang gelap itu seakan-akan mendapat seberkas sinar terang ketika Rara Wulan datang, sehingga langsung telah mengambil keputusan untuk mengikutinya,” sahut Glagah Putih. Prastawa memang dapat membayangkan gejolak perasaan Kanthi waktu itu, sehingga hampir saja Kanthi mengakhiri hidupnya dengan cara yang seharusnya tidak dilakukannya. Namun dalam pada itu Swandaru pun berdesis, “Tetapi besok sore, Paman Argajaya akan menerima utusan keluarga Anggreni yang akan menjawab lamarannya beberapa hari yang lalu. Jika kemudian ditentukan hari pernikahannya, apakah keramaian yang bakal diselenggarakan di Tanah Perdikan ini tidak terdengar oleh Kanthi, sehingga akan dapat membuat luka di hatinya terasa pedih lagi?” “Kanthi tidak pernah keluar dari halaman rumah, ia tidak pernah ikut Mbokayu Sekar Mirah ke pasar, dan bahkan tidak ke warung terdekat sekalipun,” jawab Glagah Putih. “Tetapi suatu saat Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan ikut menjadi sibuk,” berkata Swandaru, “tentu Kanthi bertanya-tanya, diucapkan atau tidak, kenapa Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus mengenakan pakaian yang tidak dikenakannya sehari-hari. Bahkan Sekar Mirah tentu ikut membantu kesibukan di rumah Paman Argajaya.” “Tetapi bukankah yang menjadi lebih sibuk adalah keluarga Anggreni?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi tentu juga Paman Argajaya,” jawab Swandaru. “Katakan saja, Sekar Mirah mendapat tugas menyelenggarakan keramaian Merti Desa,” desis Pandan Wangi. Swandaru tersenyum. Katanya, “Memang bukan sesuatu hal yang sangat sulit. Tetapi aku kira sebaiknya Kanthi justru mengetahui, sehingga ia tidak merasa selalu dibayangi oleh kebohongan.” Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Tetapi harus dicari saat yang paling tepat untuk mengatakannya.” Swandaru mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan Kanthi. Ia datang kemari untuk melupakan pedih hatinya. Kita memang harus membantunya.” Namun Glagah Putih ternyata juga mendapat pesan, agar Agung Sedayu besok sore berada di rumah Ki Argajaya karena utusan keluarga Anggreni akan datang memberikan jawaban atas lamaran Ki Argajaya, meskipun sebenarnya jawaban itu sudah diketahui. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa pesan itu harus disampaikannya tanpa didengar oleh Kanthi. Namun perkenalan dan kemudian hubungan sehari-hari antara Kanthi dan Wacana nampak menjadi semakin akrab. Setiap kali Wacana berusaha untuk membantu apa saja yang dilakukan oleh Kanthi. Kanthi sendiri merasakan satu sikap yang lain dari Wacana. Anak muda itu sangat memperhatikannya. Ia banyak membantunya, dan sekali-sekali memberinya beberapa petunjuk tentang hidup dan kehidupan. Sebelumnya Kanthi sudah lama mengenal Prastawa. Bahkan ia pernah merasa betapa hatinya telah terjerat oleh anak muda itu. Tetapi Prastawa tidak memperhatikannya sebagaimana Wacana. Prastawa pun tidak memberinya petunjuk-petunjuk yang mendalam tentang hidup dan kehidupan. Jika Prastawa menemuinya di rumahnya, wajahnya memang nampak cerah. Senyumnya selalu menghiasi bibirnya. Tetapi ia lebih banyak berbicara tentang keadaan sehari-hari di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Pembicaraan yang tidak membekas, karena hanya sekedar menyentuh permukaan. Yang membekas di hati Kanthi adalah justru wajah dan senyum Prastawa yang ceria. Tetapi tidak demikian dengan Wacana. Anak muda ini lebih bersungguh-sungguh menanggapi hidup dan kehidupan. Menurut pendapat Kanthi, maka Wacana adalah salah satu sosok seorang laki-laki yang dapat menjadi pelindung bagi keluarganya. Namun setiap kali Kanthi terdampar pada kenyataan tentang dirinya. Setiap ia menyadari keadaan dirinya, maka ia segera merasa rendah diri, dan bahkan sekali-sekali melemparkannya ke dalam satu keadaan tiada berpengharapan. Namun Kanthi masih juga dibayangi oleh satu kebimbangan. Wacana telah mengetahui dengan pasti akan keadaannya. Tetapi sikapnya memberikan kehangatan atas satu pengharapan. Sementara itu, ketika tiba saatnya Ki Argajaya menerima utusan dari keluarga Anggreni, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi mereka berniat untuk berbenah diri di rumah Ki Gede. Bahwa Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede, akan dapat mengurangi keseganan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi, maka Kanthi memang bertanya tentang mereka. Tetapi Rara Wulan yang sudah mendapat pesan dari Sekar Mirah menjawab, “Mereka dipanggil oleh Ki Gede, sehubungan dengan peningkatan kesiapan Mataram menghadapi kemelut dengan Pati.” Kanthi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi justru timbul kecemasan bahwa akan timbul keadaan yang kurang baik oleh akibat peperangan, jika perang itu benar-benar terjadi kelak. Karena sedikit-sedikit Kanthi pernah mendengar hubungan antara Mataram dan Pati menjadi gelap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun seperti direncanakan telah berbenah diri di rumah Ki Gede. Mereka berterus terang bahwa mereka sengaja menghindari pertanyaan Kanthi. “Jika kau perlakukan Kanthi seperti itu, maka ia tentu akan menjadi sangat manja,” berkata Swandaru. “Tentu tidak seterusnya. Kakang,“ Pandan Wangi-lah yang justru menyahut, “Kanthi baru saja tergoncang jiwanya, bahkan setelah ia mencoba membunuh diri. Sekarang ia sedang berusaha mencapai keseimbangan perasaan dan penalarannya kembali.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan berusaha untuk mengerti.” Tetapi Pandan Wangi justru bertanya, “Apakah kira-kira usaha Kakang itu berhasil?” Swandaru terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku akan berhasil.” Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun tersenyum pula. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke rumah Ki Argajaya. Bahkan Ki Gede pun berkenan pergi pula, karena Prastawa selain kemenakannya maka ia adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sore itu, beberapa orang tamu telah datang ke rumah Ki Argajaya. Mereka adalah orang-orang yang dituakan oleh keluarga Anggreni, dengan beberapa orang pengiringnya. Sebenarnya memang tidak ada masalah apa-apa. Segalanya sudah dapat diketahui, bahwa keluarga Anggreni datang untuk menerima lamaran Ki Argajaya, bahwa Anggreni akan diperistri oleh Prastawa. Tetapi ketika Ki Argajaya bertanya apakah keluarga Anggreni sudah mempunyai ancar-ancar waktu, maka utusan keluarga Anggreni itu menjawab, “Sama sekali belum Ki Argajaya. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Argajaya.” “Tetapi bukankah ajang peralatan itu nanti berada di rumah calon pengantin perempuan?” bertanya Ki Gede. “Benar Ki Gede, tetapi segala sesuatunya kami menunggu perintah dari sini.” “Tentu bukan perintah,” sahut Ki Argajaya, “kita akan membicarakan bersama.” “Bagaimana kalau sepekan lagi?“ tiba-tiba Swandaru memotong, “Jika hanya sepekan, aku akan menunggu.” “Ah,” Pandan Wangi berdesah. Tetapi iapun segera terdiam. Ia sadar bahwa ia tidak berwenang untuk menjawab. Ternyata utusan keluarga Anggreni yang dituakan itu-lah yang menjawab, “Maafkan Ngger. Jika sepekan lagi, maka kami akan menjadi sangat tergesa-gesa.” Ki Jayaraga yang mendahului Agung Sedayu dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya itu pun tertawa pula. Katanya, “Tentu tidak mungkin. Jika pernikahan itu harus diselenggarakan sepekan lagi, maka mulai besok keluarga calon penganten itu harus sudah berbelanja, mulai memasak, dan jika Prastawa harus memakai upacara ngenger, malam nanti Prastawa harus berangkat.” Swandaru pun tertawa. Katanya, “Nampaknya aku terlalu memikirkan diri sendiri.” Ki Argajaya-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya, kami serahkan rencana saat pernikahan itu kepada keluarga calon pengantin perempuan. Hari, pasaran, tanggal dan bulan baik, dan waktunya, apakah pagi, siang atau sore hari. Kami akan menyesuaikan diri, karena kesibukan itu akan berlangsung di rumah calon pengantin perempuan. Untuk itu kami cukup diberitahukan saja.” Utusan keluarga calon pengantin perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kami akan membicarakannya dengan seluruh keluarga. Dalam sepekan ini kami akan memberitahukan hasilnya.” “Sebelum akhir pekan,” sahut Swandaru, “aku hanya tinggal sepekan berada di Tanah Perdikan ini. Sebelum kami pulang, hendaknya kami sudah tahu kapan kami harus datang kembali kemari. Mudah-mudahan kami tidak sedang berada di medan perang.” “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “jika perang terjadi sebelum hari pernikahan, maka pernikahan itu tentu dengan sendirinya akan tertunda.” Demikianlah, pembicaraan itu pun segera berakhir. Tetapi untuk beberapa saat para tamu itu masih duduk berbincang-bincang tentang banyak hal yang menyangkut padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan. Namun akhirnya para tamu itu pun telah mohon diri meninggalkan rumah Ki Argajaya. Sepeninggal para tamu utusan keluarga calon pengantin perempuan, maka Ki Gede pun telah minta diri pula. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan singgah di rumah Ki Gede untuk berganti pakaian, sebagaimana mereka berangkat dari rumah. Ki Jayaraga yang keluar dari rumah tidak bersama mereka dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya, akan langsung pulang. Swandaru memang masih mentertawakan mereka, seakan-akan seisi rumah itu telah dikendalikan oleh kehadiran Kanthi. Tetapi Pandan Wangi pula yang berkata, “Apa salahnya menjaga perasaan seseorang? Jika Ki Jayaraga berangkat dan pulang bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka Kanthi akan dapat bertanya-tanya. Jika saja pertanyaan itu terucapkan, maka akan dapat diberikan penjelasan meski-pun harus berbohong. Tetapi jika pertanyaan itu disimpan di dalam hatinya, maka pertanyaan itu akan dapat mengganggu keseimbangan jiwanya yang sudah mulai membaik.” Swandaru masih tertawa sambil mengangguk-angguk, “Ya. Ya. Aku mengerti.” Sementara itu di rumah, Glagah Putih masih sedang berada di kandang kuda. Sementara Rara Wulan berada di dapur untuk menjerang air. Kanthi ternyata juga berada di dapur membantu Rara Wulan. “Sudahlah Kanthi,” berkata Rara Wulan, “kau tidak boleh terlalu banyak melakukan sesuatu.” “Bukankah aku tidak berbuat apa-apa selain menunggui api agar tetap menyala?” sahut Kanthi. “Tetapi tidak baik bagimu untuk duduk terlalu lama di atas dingklik yang rendah itu,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi memang bangkit. Tetapi ketika ia melihat air di gentong yang sudah tinggal sedikit, maka iapun telah mengambil klenting untuk mengisi gentong. Untunglah Rara Wulan melihatnya, sehingga cepat-cepat ia mencegahnya, “Jangan. Biarlah nanti orang lain yang mengisinya. Biasanya Kakang Glagah Putih atau anak itu.” “Aku tidak melihat Kakang Glagah Putih,” sahut Kanthi, “Sukra agaknya juga sedang pergi.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ia justru bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan Sukra?” “Anak itu,” jawab Kanthi. “Anak yang mana?” desak Rara Wulan. “Anak yang di sini. Tentu anak yang kau maksudkan untuk mengisi gentong itu.” “O,“ Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa?” bertanya Kanthi. “Namanya bukan Sukra,” jawab Rara Wulan. “Siapa? Aku dengar Kakang Glagah Putih pernah memanggilnya Sukra.” Rara Wulan Tersenyum. Katanya, “Aku juga pernah bingung memanggil anak itu, sehingga aku pernah menanyakannya. Menurut Kakang Agung Sedayu, nama sebenarnya adalah Gatra Bumi. Tetapi anak itu malu setiap kali ia mendengar namanya sendiri. Nama itu merupakan beban yang terlalu berat. Karena itu ia lebih senang dipanggil dengan nama apa saja. Bahkan jarang sekali anak itu dipanggil dengan sebuah nama.” “Jadi?” bertanya Kanthi. “Karena anak itu senang sekali ikan tambra, maka Kakang Glagah Putih sering memanggilnya Tambra. Sering pula dipanggilnya Kampret, atau nama apapun. Tetapi lebih sering dipanggil dengan Thole,” jawab Rara Wulan. Kanthi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi nampaknya anak itu tidak berkeberatan aku panggil Sukra. Biarlah aku memanggilnya Sukra untuk seterusnya.” Rara Wulan tertawa. Katanya, “Yang lain tentu tidak berkeberatan. Kakang Glagah Putih, Kakang Agung Sedayu dan yang lain tentu tidak berkeberatan pula.” Ternyata ketika Glagah Putih kemudian masuk ke dapur, Rara Wulan pun telah mengatakan kepadanya, bahwa anak yang ada di rumah itu sebaiknya dipanggil dengan sebuah nama. Glagah Putih pun tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepada anak itu. Jika ia tidak berkeberatan, maka jadilah namanya Sukra.” Ketika senja kemudian menjadi gelap, maka Ki Jayaraga pun telah pulang lebih dahulu. Tetapi baik Glagah Putih maupun Rara Wulan tidak bertanya sama sekali kepada Ki Jayaraga tentang kepergiannya. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kembali pula. Kanthi memang tidak melihat sesuatu yang perlu dipertanyakan kepada Ki Jayaraga atau kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak membicarakan rencana pernikahan Prastawa. Malam itu, Glagah Putih telah mengajak anak yang tinggal di rumah itu untuk berlatih. Setelah beberapa saat anak itu beristirahat setelah makan malam, maka Glagah Putih membawanya untuk melakukan latihan-latihan ringan di kebun belakang. Namun sebelum mereka mulai berlatih, Glagah Putih pun berkata, “He, Kampret, kau sekarang mempunyai sebuah nama.” “Jangan panggil namaku,” jawab anak itu, “menurut orang tua-tua, nama yang menjadi beban terlalu berat, akan dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan.” “Tidak. Kau mempunyai nama baru. Kanthi yang memberikannya,” berkata Glagah Putih. “Kanthi orang baru itu?” bertanya anak itu. “Ya. Nampaknya kau sangat menarik perhatiannya. Baginya kau adalah anak yang rajin dan mengerti tugas-tugas yang harus kau lakukan. Karena itu ia ingin memberimu nama, agar ia dapat memanggilmu dengan mudah,” berkata Glagah Putih. “Kenapa tiba-tiba namaku menjadi persoalan? Bukankah selama ini tidak ada masalah apapun dengan namaku?” bertanya anak itu. “Kau akan selalu dipanggil Sukra. Ceritakan kepada kawan-kawanmu yang memanggilmu Kampret, bahwa namamu adalah Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian. Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Nama itu memang lebik baik.” Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya, “Nah, marilah. Kita akan mulai berlatih. Kita akan berlatih di udara terbuka kali ini. Kita lihat apakah nanti kita perlu pindah ke sanggar atau tidak. Latihan ini memang memerlukan tempat yang agak luas.” Anak itu mengangguk kecil. Ia tidak lagi berani bersikap seenaknya lagi kepada Glagah Putih. Demikianlah, Glagah Putih pun telah mulai dengan latihan-latihan dasar olah bela diri. Glagah Putih telah memperkenalkan anak itu dengan langkah-langkah panjang. Langkah-langkah yang akan dapat memberikan arti bagi ketahanan tubuh dan pernafasannya. Dengan sungguh-sungguh anak itu mengikuti segala petunjuk Glagah Putih. Anak itu benar-benar ingin dapat menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Dengan demikian maka anak itu mampu menguasai beberapa unsur gerak dalam waktu yang terhitung cepat. Menjelang tengah malam, anak itu pun telah nampak mulai menjadi letih. Karena itu Glagah Putih pun kemudian telah mengakhiri latihan-latihan itu. “Kau tidak usah terlalu memaksa diri, karena justru dengan demikian akan dapat mengganggu perkembangan kewadaganmu.” Anak itu tidak berani lagi membantah. Ketika Glagah Putih minta ia meletakkan ungkapan tenaganya dengan mengatur pernafasannya dengan cara yang telah diajarkannya, maka anak itu pun segera melakukannya. Setelah beristirahat dan setelah membersihkan dirinya dan berganti dengan pakaian yang tidak basah oleh keringat, maka Glagah Putih pun telah pergi ke serambi gandok. Ternyata Wacana juga belum tidur. Iapun duduk di amben bambu di serambi gandok pula. “Kau belum tidur,” bertanya Glagah Putih yang kemudian duduk di sebelahnya. “Kau juga belum,” sahut Wacana. “Aku baru saja berlatih bersama anak itu,” jawab Glagah Putih, “nampaknya ia bersungguh-sungguh ingin menguasai kemampuan bela diri.” Wacana mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak begitu tertarik mendengarnya. Namun tiba-tiba saja di luar dugaan Glagah Putih, Wacana itu bertanya, “Setelah beberapa hari berada di sini, bagaimana pendapatmu tentang Kanthi?” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat anak muda itu merenung. Namun kemudian betapapun ia ragu-ragu, namun iapun berkata, “Glagah Putih. Kanthi membutuhkan seseorang yang bersedia menjadi sisihannya. Dengan demikian ia akan dapat dibebaskan dari penderitaan batin saat anaknya lahir.” Di luar sadarnya Glagah Putih memandangi wajah Wacana dengan dahi yang berkerut. Dengan nada rendah ia berkata, “Benar Wacana. Tetapi tentu dibutuhkan seseorang yang mau menerimanya secara utuh.” “Tentu Glagah Putih. Orang yang bersedia menjadi suaminya harus orang yang sudah mengetahui keadaannya, menerima tanpa syarat,” jawab Wacana. “Ya. Jika tidak, maka pada saat bayinya akan lahir, maka perasaan dan penalarannya yang kini mulai menjadi seimbang akan terguncang lagi. Bahkan mungkin lebih keras. Anak itu baginya akan menjadi beban yang tidak akan dapat diletakkannya.” “Aku sependapat, Wacana,” berkata Glagah Putih, “tetapi tentu diperlukan seseorang yang bersedia melakukannya dengan penuh kesadaran.” “Glagah Putih,” suara Wacana merendah, “aku sudah mengetahui keadaan Kanthi. Tetapi aku juga mengetahui bahwa ia memerlukan seseorang yang membantunya mengatasi goncangan-goncangan perasaannya di saat bayi lahir.” “Maksudmu?” bertanya Glagah Putih. “Aku bersedia menjadi orang yang dapat membantunya itu.” berkata Wacana sambil memandang ke kejauhan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak terkejut karena ia sudah menduganya. Meskipun demikian, Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Wacana. Apakah tegasnya kau bersedia menikah dengan Kanthi? Begitu maksudmu?” “Ya,” jawab Wacana. “Aku kagum akan kebesaran jiwamu. Meskipun demikian, maka kau sebaiknya memikirkannya lagi. Jika sebuah perkawinan hanya didasari karena rasa belas kasihan, maka perkawinan itu tidak berdiri di atas alas yang kokoh. Pada suatu saat, keadaan yang menimbulkan rasa belas kasihan itu tidak nampak lagi. Jika hidup menjadi tegar kembali serta harapan semakin cerah di masa datang, masa rasa kasihan itu akan berangsur hilang. Pada saat yang demikian perkawinan itu akan menjadi goncang.” “Glagah Putih,” berkata Wacana dengan nada berat, “jika aku bersedia menjadi suaminya, dasarnya bukan semata-mata belas kasihan. Setelah aku mengenalnya dari dekat, maka aku yakin bahwa Kanthi adalah seorang perempuan yang baik. Ia akan menjadi seorang yang setia dan mengerti akan tugasnya. Terus terang Glagah Putih, aku seakan -akan telah menemukan apa yang pernah hilang dari padaku beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau harus ingat, bahwa di dalam diri Kanthi terdapat seorang yang kelak akan dapat mengingatkanmu tentang keadaan Kanthi sekarang ini.” “Aku sudah memikirkannya berulang kali Glagah Putih. Aku tentu akan dapat melupakannya. Aku akan dapat menganggapnya sebagai anakku sendiri, justru karena aku sudah mengetahui sebelumnya. Aku akan merasa tersiksa kelak jika aku sebelumnya tidak mengetahuinya,“ jawab Wacana. Glagah Putih kemudian bergumam, “Aku sangat menghargai sikapmu Wacana. Apakah kau pernah berbicara dengan Kanthi, langsung atau tidak langsung?” “Belum Glagah Putih. Aku takut,” jawab Wacana. “Kenapa takut?” bertanya Glagah Putih. “Kanthi akan dapat menjadi salah paham. Seperti katamu, ia dapat mengira aku hanya sekedar mengasihaninya,” jawab Wacana. “Jadi, bagaimana mungkin Kanthi mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya?” bertanya Glagah Putih. Wacana tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru tertunduk lesu. Sekali-kali diusapnya keringat yang membasah di kening. “Wacana,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika aku boleh bertanya, bukankah kau sudah menjadi semakin akrab dengan Kanthi dalam waktu yang singkat? Dengan demikian agaknya kau sudah dapat menjajaginya, bagaimana sikap dan perasaan Kanthi terhadapmu.” Wacana termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Glagah Putih. Nampaknya Kanthi sangat dekat dengan Rara Wulan. Seakan-akan ada ikatan dan bahkan ketergantungan perempuan itu kepada Rara Wulan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu Glagah Putih. Katakan kepada Rara Wulan persoalanku ini. Jika yang menyampaikan hal itu kepada Kanthi adalah Rara Wulan sendiri, maka tanggapan Kanthi tentu akan berbeda.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku mengerti Wacana. Biarlah Rara Wulan mengatakannya.” “Terima kasih, Glagah Putih. Tetapi aku mohon Rara Wulan berhati-hati, agar Kanthi tidak menjadi salah paham,” desis Wacana. “Baiklah. Mudah-mudahan niat baik yang memancar dari kebesaran jiwamu itu dapat terlaksana. Semuanya akan ikut bergembira. Tentu saja Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah akan menyambut dengan gembira. Demikian juga Ki Jayaraga. Menurut pendapatku, yang juga akan menyambut dengan sepenuh hati adalah Prastawa. Ia akan merasa terlepas dari satu himpitan perasaan bersalah, meskipun sebenarnya ia tidak bersalah.” “Ya. Prastawa memang tidak bersalah,” desis Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalan keluar yang baik bagi Kanthi. Namun demikian, Glagah Putih berniat untuk berbicara dengan Agung Sedayu dan lebih dahulu, sebelum ia minta kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepada Kanthi. Malam itu, Wacana dapat tidur nyenyak. Ia merasa bahwa sebagian bebannya telah diletakkannya. Ia berharap bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar bersedia membantunya. Pagi berikutnya, Glagah Putih benar-benar telah menyampaikannya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Sekar Mirah meletakkan minuman hangat di ruang dalam, maka Glagah Putih telah minta untuk berbicara sejenak. “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih berdesis, “Penting. Tentang Wacana. Dimana kita dapat berbicara bersama Kakang Agung Sedayu?” Sekar Mirah pun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu, yang sedang berbenah diri dan mengenakan pakaian keprajuritan di dalam biliknya. “Panggil Glagah Putih kemari,” desis Agung Sedayu. Di dalam bilik Agung Sedayu, Glagah Putih telah menyampaikan persoalan Wacana dalam hubungannya dengan Kanthi. “Bukan sekedar karena belas kasihan,” berkata Glagah Putih kemudian. “Aku percaya kepada Wacana,” desis Agung Sedayu, “ia merasa menemukan kembali apa yang pernah hilang dari padanya, meskipun sudah tentu bobotnya tidak sama. Tetapi akupun melihat bahwa Kanthi akan dapat menjadi seorang istri yang baik. Pengalaman pahit yang pernah terjadi atas dirinya akan membantu membuatnya lebih berhati-hati melintas langkah-langkah kehidupan.” “Menurut pendapatku, pada dasarnya Kanthi adalah anak yang baik,” sahut Sekar Mirah, “tetapi bagaimana dengan anak yang dikandungnya?” “Wacana menyadari sepenuhnya akan kehadiran seorang anak segera setelah pernikahannya. Tetapi menurut Wacana, justru karena hal itu sudah diketahuinya, maka tidak akan menjadi beban yang berlebihan baginya kelak.” “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak berkeberatan.” “Apakah Mbokayu juga tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih. “Aku juga tidak berkeberatan,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan berbicara dengan Rara Wulan nanti.” “Katakanlah. Mudah-mudahan Kanthi tidak menjadi salah paham. Atau justru karena ia merasa rendah diri dan bersalah sehingga ia merasa tidak berhak untuk menerima uluran tangan itu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa apa yang harus dilakukan oleh Rara Wulan bukan satu hal yang mudah. Justru karena persoalannya langsung menyentuh dasar hatinya yang paling dalam. Ketika kemudian sesudah makan pagi Agung Sedayu berangkat ke barak, maka Glagah Putih telah berbicara pula dengan Ki Jayaraga tentang maksud Wacana, dan pertimbangan Agung Sedayu serta Sekar Mirah. Tetapi Ki Jayaraga kemudian berkata, “Sebaiknya Rara Wulan menyampaikan pesan Wacana itu bersama Angger Sekar Mirah. Angger Sekar Mirah yang sudah lebih luas pengalaman hidupnya akan dapat memberikan beberapa pertimbangan, jika Kanthi menjadi salah paham terhadap niat baik Wacana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta kedua-duanya.” Demikianlah, di luar pengetahuan Kanthi, Glagah Putih telah berbicara dengan Rara Wulan dan Sekar Mirah. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun tidak terkejut lagi. Seperti Glagah Putih, iapun telah menduga bahwa pada suatu saat Wacana akan sampai pada sikapnya itu. Meskipun demikian, titik-titik air telah mengembun di pelupuk mata Rara Wulan. Dengan nada sendat ia berkata, “Aku berdoa dengan sungguh-sungguh, agar niat itu dapat terlaksana. Wacana dan Kanthi yang hatinya sama-sama pernah terluka itu, akan dapat saling mengisi untuk menemukan hari depan yang ceria.” Ternyata Sekar Mirah pun tidak berkeberatan pula. Keduanya telah sepakat untuk berbicara dengan Kanthi sesudah makan malam. Hari itu juga Glagah Putih telah berbicara dengan Wacana. Glagah Putih memberitahukan, bahwa Rara Wulan tidak berkeberatan untuk menyampaikan pesan Wacana. Bahkan bersama dengan Sekar Mirah. “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih,” desis Wacana. “Mudah-mudahan niat baikmu itu dapat berakhir dengan baik pula,” sahut Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku benar-benar berharap, agar aku tidak akan merasa kehilangan untuk kedua kalinya.” “Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Wacana,” desis Glagah Putih kemudian. Namun dengan demikian Glagah Putih pun menjadi cemas. Jika terjadi salah paham, maka hati kedua-duanya akan menjadi semakin terluka. Hari itu tiba-tiba saja menjadi hari yang gelisah bagi seisi rumah Agung Sedayu, kecuali Kanthi yang masih belum tahu apa yang sedang direncanakan oleh seisi rumah itu. Mereka dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin Kanthi akan merasa berbahagia. Tetapi mungkin justru terjadi salah paham. Tetapi baik Sekar Mirah, maupun Rara Wulan berusaha untuk tidak menampakkan kegelisahannya kepada Kanthi, yang sudah terbiasa membantu mereka di dapur. Menjelang matahari sepenggalah, Ki Jayaraga sudah siap untuk pergi ke sawah. Sambil menjinjing cangkul ia berkata kepada anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, “He, Sukra. Nanti jangan terlambat mengirim makan ke sawah.” Anak itu memandang Ki Jayaraga dengan kerut di kening. Dengan senyum kecil Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kau sekarang bernama Sukra? Nama yang sangat baik bagimu.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku bernama Sukra. Aku senang pada nama itu.” “Yang penting, jangan terlambat,” berkata Ki Jayaraga kemudian. Demikian Ki Jayaraga pergi ke sawah, maka Wacana, yang agaknya juga menjadi gelisah, berkata kepada Glagah Putih, “Aku akan ikut Ki Jayaraga ke sawah.” Glagah Putih tersenyum. Ia melihat kegelisahan yang terbayang di wajah Wacana. “Baiklah,” berkata Glagah Putih, “sebentar lagi aku juga akan pergi menemui para pengawal di rumah Ki Gede.” Melihat Glagah Putih tersenyum, maka Wacana pun tersenyum pula meskipun agak tertahan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Jangan gelisah Wacana. Seisi rumah ini akan berusaha membantu kalian berdua.” “Terima kasih,“ desis Wacana, yang segera menyusul Ki Jayaraga. Seperti Ki Jayaraga, Wacana pun membawa cangkul pula di pundaknya. Sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap pula untuk pergi ke rumah Ki Gede menemui para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, yang merupakan bagian dari tugas-tugasnya di Tanah Perdikan. “Aku tidak terlalu lama Mbokayu,” berkata Glagah Putih ketika ia minta diri. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, maka ia melihat di pendapa beberapa orang telah berkumpul. Ki Gede nampaknya sedang memimpin sebuah pertemuan para bebahu Tanah Perdikan, termasuk Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal. Ketika Ki Gede melihat Glagah Putih, maka iapun berkata, “Nah, kebetulan kau datang Ngger. Tadi pagi hampir saja Prastawa lupa akan datang memanggilmu ke rumah. Untunglah ia segera teringat dan membatalkannya. Tetapi kemudian ia terlupa untuk tidak menyuruh orang lain datang memanggilmu. Baru saja seorang pengawal aku perintahkan pergi ke rumahmu. Tetapi agaknya ia tentu bertemu dengan kau di jalan.” “O,” Glagah Putih mengangguk. Ia memang bertemu seorang pengawal di luar regol. Tetapi Glagah Putih tidak begitu menghiraukannya ketika pengawal itu berbalik dan berkata kepadanya, “Kebetulan, kau sudah datang.” Demikianlah, Glagah Putih pun telah ikut duduk pula bersama para bebahu dan pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Bahkan Swandaru pun ada di antara mereka. “Kami sedang membicarakan perintah dari Mataram,” berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Mataram memerintahkan agar kita meningkatkan kewaspadaan. Nampaknya hubungan Mataram dan Pati menjadi semakin buram. Segala upaya telah ditempuh, namun belum ada tanda-tanda bahwa keadaan akan mereda. Kedua belah pihak berpegang kepada sikapnya masing-masing, karena masing-masing merasa berpijak kepada kebenaran.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Perintah serupa telah diterima pula oleh Agung Sedayu sebagai Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Swandaru pun kemudian berdesis, “Agaknya perintah seperti ini juga disampaikan kepada Panglima pasukan Mataram di Jati Anom, dan tentu juga kepada pasukan pengawal Sangkal Putung.” “Kakang Agung Sedayu juga sudah menerima perintah itu,” berkata Glagah Putih. “Jika demikian, nampaknya sulit untuk mempertemukan lagi kedua orang yang semula diharapkan dapat membina keutuhan wilayah Pajang. Bayangan perang agaknya telah benar-benar menghantui rakyat Mataram dan Pati,” desis Ki Gede. Tetapi Swandaru berkata, “Jika sudah tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, maka perang itu-lah yang akan menentukan.” “Perang selalu membawa akibat buruk kedua belah pihak,” desis Ki Gede. “Tetapi sebagai rakyat Mataram, maka kita tidak dapat berbuat lain. Apabila Panembahan Senapati memerintahkan, maka perang itu akan terjadi dengan segala macam akibatnya.” “Benar Ngger. Tetapi penglihatan wajar kita dapat mengatakan bahwa perang akan mengesampingkan peradaban yang sudah terbina berbilang abad.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Aku mengerti. Tetapi sikap ini akan dapat membuat rakyat Mataram dan bahkan para prajurit menjadi ragu-ragu. Sementara itu prajurit Pati dengan tekad yang tinggi siap bertempur melawan Mataram. Tekad bagi para prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam pertempuran. Prajurit yang ragu-ragu, bimbang dan memikirkan terlalu banyak pertimbangan, tidak akan mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Akibatnya, justru senjata lawan akan menikam jantungnya sendiri.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pula jalan pikiran Swandaru. “Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “yang penting bagi kita sekarang adalah melaksanakan perintah Panembahan Senapati. Kita harus meningkatkan segala persiapan menghadapi segala kemungkinan. Meskipun tidak mengurangi tekad kita untuk melaksanakan perintah Panembahan, namun sudah tentu bahwa segala upaya untuk memecahkan persoalan tanpa mempergunakan kekerasan masih harus tetap dilaksanakan.” Swandaru tidak menjawab lagi. Tetapi di hadapan para pengawal Sangkal Putung, Swandaru tentu akan bersikap lain. Demikianlah, menghadapi perkembangan keadaan, Prastawa yang menunggu saat-saat pernikahannya itu telah mendapat perintah untuk mempersiapkan para pengawal Tanah Perdikan dalam kesiagaan tertinggi. Sedangkan Glagah Putih telah mendapat tugas untuk sejauh dapat dilakukan dalam kesempatan yang sempit, meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede pun memerintahkan kepada para bebahu untuk mempersiapkan persediaan kebutuhan yang mungkin harus disediakan Tanah Perdikan Menoreh untuk mendukung pertempuran yang mungkin terjadi. Persediaan bahan makanan, kelengkapan-kelengkapan lain yang diperlukan, termasuk mempersiapkan mereka yang memiliki kemampuan di bidang pengobatan. Setiap pemimpin kelompok harus memeriksa kelengkapan para pengawal. Terutama senjata mereka, apakah cukup memadai. Mereka tidak hanya akan sekedar menghadapi segerombolan penjahat, tetapi mereka akan menghadapi sepasukan prajurit Pati yang mempunyai kemampuan yang tinggi, apabila perang benar-benar pecah. Demikianlah, ketika pertemuan itu berakhir, serta setelah para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan meninggalkan pendapa rumah Ki Gede, Prastawa dan Glagah Putih masih tinggal dan duduk bersama Ki Gede dan Swandaru. “Nah, kau harus cepat menyelesaikan persoalanmu sendiri, Prastawa,” berkata Swandaru sambil tersenyum. Tetapi Prastawa itu pun menjawab, “Tidak terlalu mendesak, Kakang. Jika perlu, persoalan pribadi itu akan dapat ditunda sampai keadaan menjadi tenang.” “Tidak. Jika keadaan menjadi semakin suram, kau justru harus mempercepat dari pernikahanmu itu. Apapun yang terjadi kemudian, tetapi segala-galanya sudah jelas.” Tetapi Prastawa tersenyum. Katanya, “Kami tidak tergesa-gesa Kakang.” “Mungkin kalian tidak tergesa-gesa. Tetapi semisal bisul, hendaknya sudah pecah, dan tidak lagi terasa menyengat-nyengat.” Prastawa justru tertawa. Ki Gede pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi menurut perhitunganku, perang tidak akan segera pecah. Maksudku tidak dalam beberapa pekan ini. Tetapi tentu masih berbilang bulan.” Swandaru pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan kau tidak memilih hari pernikahanmu di saat perang sudah meletus, dan menyelenggarakan upacara pernikahan itu di medan dengan minta agar para prajurit Pati beristirahat selama upacara berlangsung.” Ki Gede dan Glagah Putih pun tertawa pula. Sementara Prastawa sendiri tertawa berkepanjangan. Namun yang kemudian ditanyakan oleh Ki Gede kepada Glagah Putih, langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Agung Sedayu menanggapi perintah dari Mataram. “Agaknya Kakang Agung Sedayu sudah meningkatkan kesiagaan para prajuritnya. Menurut pendengaranku, ijin para prajurit yang ingin meninggalkan barak menengok keluarganya, semakin dibatasi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita semuanya akan meningkatkan kesiagaan. Tetapi aku masih berharap bahwa persoalan Prastawa dapat diselesaikan lebih dahulu daripada perang.“ “Aku akan menepati rencanaku. Tetapi setelah sepekan aku tentu tidak akan dapat menundanya lagi. Namun setidak-tidaknya aku sudah tahu, kapan aku harus datang lagi kemari. Tentu dengan pertimbangan, jika keadaan masih memungkinkan,” sahut Swandaru. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam dua tiga hari ini, keluarga Anggreni akan mengirimkan utusan mereka untuk memberitahukan beberapa kemungkinan yang dapat dipilih untuk menentukan hari-hari perkawinan.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau akan berpacu dengan Kanthi. Kami seisi rumah juga berharap agar Kanthi pun segera mendapat jalan keluar.” Prastawa mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Semoga. Aku juga berdoa, agar Kanthi menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya.” Dengan demikian, maka sejak hari itu tugas Glagah Putih memang bertambah. Latihan-latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan telah ditingkatkan, disesuaikan dengan meningkatnya kesiagaan Mataram menghadapi Pati, yang nampaknya sulit untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih lunak dari perang. Prastawa dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah menentukan waktu latihan bagi para pemimpin kelompok di setiap padukuhan. Sementara Glagah Putih berjanji, agar latihan-latihan itu berjalan lebih baik, untuk minta agar Agung Sedayu bersedia mengirimkan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus, membantu memberikan latihan-latihan kepada para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok terpilih pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, di samping latihan-latihan yang akan diberikan oleh Glagah Putih serta para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Ketika Glagah Putih kemudian kembali dari rumah Ki Gede, maka yang tinggal di rumah hanyalah Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Wacana ternyata masih berada di sawah, sementara anak yang kemudian dipanggil Sukra itu sedang pergi ke sawah pula untuk mengirim minuman dan makanan bagi Ki Jayaraga dan Wacana. Kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Gilagah Putih menceritakan peningkatan kesiagaan sebagaimana dilakukan oleh Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Bagaimana jika Mbokayu juga diminta untuk memberikan latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, atau kelompok-kelompok khusus?” bertanya Glagah Putih. “Ah, bukankah kerjaku hanya di dapur?” sahut Sekar Mirah. “Tetapi Mbokayu pernah menjadi pelatih pula, justru di barak pasukan khusus itu,” berkata Glagah Putih kemudian. “Kita akan melihat keadaan, dan sudah tentu kita harus berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku kira, jika Kakang Agung Sedayu dapat mengirim empat atau lima orang prajurit pilihan, jumlah pelatih itu sudah akan mencukupi. Dengan latihan-latihan yang tertib dan teratur, maka kemampuan para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok khusus pengawal itu akan meningkat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak menjawab lagi, namun menurut pendapat Glagah Putih, dalam keadaan yang mendesak diperlukan pelatih yang baik sebanyak-banyaknya, untuk meningkatkan latihan-latihan yang sudah diadakan sebelumnya, yang dianggap kurang memadai untuk menghadapi suasana yang menjadi semakin panas. Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Wacana kembali dari sawah, Glagah Putih telah menceritakan pula pertemuan di rumah Ki Gede, serta usaha meningkatkan kesiagaan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, “Banyak orang berilmu tinggi yang nampaknya mendukung atau bahkan memanfaatkan sikap Kanjeng Adipati Pati dengan pamrih pribadi. Itulah yang justru lebih berbahaya dari sikap Kanjeng Adipati sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Aku kira Angger Swandaru, maksudku Sangkal Putung, juga menerima perintah yang sama. Demikian pula Angger Untara sebagai Panglima pasukan Mataram di Jati Anom.” “Agaknya memang demikian,” sahut Glagah Putih, “Kakang Swandaru juga berpendapat demikian. Sebenarnya Kakang Swandaru juga ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Tetapi nampaknya Mbokayu Pandan Wangi masih ingin tinggal untuk tiga empat hari lagi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Semua orang yang dianggap mampu memberikan latihan-latihan keprajuritan atau latihan-latihan olah kanuragan, akan dimohon untuk membantu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu masih banyak tenaga-tenaga muda yang dapat melakukannya. Tetapi jika perlu, maka empat atau lima orang pemimpin kelompok dapat datang ke rumah ini di sore hari, untuk sekedar bermain-main.” Glagah Putih pun tersenyum pula. Katanya, “Itu sudah cukup. Semakin banyak orang yang memberikan latihan, maka semakin luas-lah wawasan dan pengalaman para pemimpin kelompok itu. Tetapi seandainya para pemimpin kelompok itu berlatih pada orang-orang tertentu, maka berbagai macam kemampuan dasar para pemimpin kelompok itu akan memberikan warna yang lain bagi para pengawal Tanah Perdikan.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Warna yang berbeda-beda itu memang dapat membuat lawan mereka bertanya-tanya, karena bagi para prajurit, terutama yang tidak bersumber dari anak-anak padepokan, memiliki kesatuan sifat dan watak kemampuan dasar mereka, karena mereka mendapat tempaan dengan garis kemampuan dasar yang sama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun menurut perhitungannya, di Tanah Perdikan itu terdapat cukup banyak orang yang berkemampuan untuk memberikan latihan-latihan dasar pada tataran yang lebih tinggi kepada para pemimpin kelompok. Demikianlah, hal yang sama telah diberitahukannya pula ketika Agung Sedayu kembali dari barak. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Tentu semua pihak yang dianggap berkepentingan sudah mendapat perintah yang sama pula.” “Apakah perang itu benar-benar akan meletus?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya memang sulit dihindarkan. Tetapi masih juga usaha-usaha dari kedua belah pihak untuk menemukan jalan keluar tanpa peperangan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi kalau masing-masing tetap berdiri tegak pada pendiriannya, maka jarak di antara keduanya tentu tidak akan dapat dipertautkan. Apalagi masing-masing merasa berdiri di atas kebenaran,” desis Glagah Putih. “Peristiwa itu akan dapat memperkaya pengertian kita tentang satu keyakinan terhadap kebenaran, serta kebenaran itu sendiri,” berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia merenungi kata-kata Agung Sedayu itu. Tentang sudut pandang atas kebenaran. Namun kemudian Glagah Putih telah menggeser pembicaraannya. Hampir bergumam Glagah Putih berkata, “Nanti malam, Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan akan berbicara dengan Kanthi.” “Keduanya memang harus segera dipertautkan. Aku yakin bahwa perasaan yang sama telah tumbuh pada keduanya,” desis Agung Sedayu. Seperti yang direncanakan, ketika malam turun, setelah mereka makan malam, maka Sekar Mirah dah Rara Wulan masih duduk di ruang dalam bersama Kanthi. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk di pendapa, sedangkan Glagah Putih dan Wacana berada di serambi gandok. Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak langsung menyampaikan pesan Wacana kepada Kanthi. Tetapi mereka berbicara tentang banyak hal yang menyangkut perkembangan keadaan yang menjadi semakin hangat. Sebagai istri prajurit, maka kemungkinan perang itu juga membayangi ketenangan Sekar Mirah. Tetapi karena Sekar Mirah sendiri memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, maka agaknya ia dapat sedikit meredam kegelisahannya itu. Namun akhirnya Sekar Mirah mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Dengan hati-hati Sekar Mirah kemudian berkata, “Kanthi. Sebenarnya ada hal yang penting yang ingin disampaikan oleh Rara Wulan kepadamu. Sejak semula Rara Wulan selalu berusaha untuk menolongmu, melindungimu, dan bahkan kemudian berusaha untuk dapat membantu mencarikan jalan keluar bagimu.” Kanthi mengerutkan keningnya. Ia belum tahu maksud Sekar Mirah. Namun sebenarnya Kanthi tidak ingin berbicara tentang keadaannya. Ia ingin melupakannya. Setelah ia berada di rumah Sekar Mirah itu beberapa lama, ia merasakan bahwa hatinya mulai menjadi tenang. Meskipun demikian, ia tidak dapat ingkar, bahwa di saat-saat ia teringat akan kandungannya, maka kegelisahan itu rasa-rasanya telah mengguncang perasaannya lagi. Namun kehadiran Rara Wulan dan Sekar Mirah di dekatnya, rasa-rasanya dapat membuat hatinya tentang kembali. Namun tiba-tiba kini ia dihadapkan pada satu pembicaraan tentang dirinya itu. Kanthi memang menjadi gelisah. Ada beberapa hal yang membayang di angan-angannya. Kanthi memang merasa bahwa kehadirannya dapat menjadi beban bagi keluarga Agung Sedayu. Dengan demikian, setelah beberapa saat ini tinggal di rumah itu serta gejolak jiwanya mulai mereda, maka mungkin sekali Sekar Mirah akan mengirimkannya pula kembali ke Kleringan. Rara Wulan yang melihat kegelisahan di wajah Kanthi itu pun ke mudian berkata, “Kanthi. Aku melihat bahwa setelah aku berada di rumah ini beberapa saat, hatimu mulai menjadi tenang. Tetapi sudah tentu hal ini belum merupakan penyelesaian yang tuntas bagimu. Aku masih sering melihat kau merenung. Dan akupun mengerti, apa yang sedang kau pikirkan.” Kanthi menjadi semakin gelisah. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Kanthi,” berkata Rara Wulan Kemudian, “aku minta maaf bahwa aku terlalu dalam mencampuri persoalan pribadimu. Tetapi hal itu aku lakukan, karena aku ingin membantumu memecahkan kesulitanmu sampai tuntas.” Kanthi masih tetap berdiam diri. Meskipun sekali-sekali ia mengangkat wajahnya memandang sepasang mata Rara Wulan yang redup, namun kemudian iapun segera menunduk kembali. Titik-titik air bahkan mulai menetes dari sepasang matanya yang basah. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan nada lembut, “bukankah seumur kita ini, menurut gelar lahiriah, masih akan menempuh jalan yang panjang?” Kanthi masih belum tahu arah pembicaraan Ran Wulan, tetapi ia mengangguk kecil. “Karena itu, Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “kita tidak boleh terpancang pada keadaan kita sekarang ini.” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. “Sebaiknya kau lupakan keadaanmu Kanthi. Kau lihat kedalaman perasaanmu. Perasaanmu sebagai seorang perempuan dalam hubungannya dengan seorang laki-laki, sesuai dengan kewajaran tingkah laku kita dalam kehidupan ini.” Kanthi mengerutkan dahinya. Sejenak ia mengangkat wajahnya. Dipandanginya Rara Wulan dan Sekar Mirah sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Rara Wulan memang menjadi berdebar-debar. Namun didorongnya lidahnya untuk berkata, “Kanthi. Aku membawa pesan bagimu. Kau telah mendapat lamaran dari seseorang.” Kanthi terkejut. Ketika ia mengangkat wajah sekali lagi, maka wajah itu nampak kemerah-merahan. Sejenak Kanthi justru bagaikan membeku. “Kanthi,” Sekar Mirah pun berdesis dengan nada dalam, “aku harap kau menanggapinya dengan hati yang bening. Kau timbang dengan saksama dan kau tinjau dari segala sisi.” Kanthi tidak segera menyahut. Namun tiba-tiba terdengar Kanthi itu terisak. “Kenapa kau menangis Kanthi?” bertanya Rara Wulan yang matanya juga mulai menjadi basah. “Rara,” desis Kanthi disela-sela isaknya, “kau tahu tentang keadaanku. Kau tahu apa yang telah terjadi atasku. Jika ada seseorang yang melamarku, bukankah itu hanya satu bayangan mimpi yang akan segera lenyap jika aku mulai terbangun? Atau justru sebuah ejekan yang sangat menyakitkan hati di saat luka di dalam dadaku mulai sembuh, atau sebuah lelucon yang kasar tanpa menghiraukan bahwa akibatnya akan sangat parah bagiku?” “Tidak. Tidak Kanthi,“ Rara Wulan mulai memeluk Kanthi yang isaknya semakin mengeras, “kau percaya kepadaku bukan?” Kanthi mengangguk kecil. “Jika kau pereaya kepadaku, Kanthi, dengarlah kata-kataku,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk pula. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan sangat berhati-hati, “apakah kau tidak merasa bahwa selama ini, seseorang sangat memperhatikanmu? Seseorang yang menganggap bahwa kau adalah seorang perempuan yang akan dapat mengisi kekosongan hatinya.” “Tetapi setelah orang itu mengetahui keadaanku, maka ia akan menganggap bahwa aku adalah sampah yang tidak pantas untuk dijamah,” desis Kanthi sambil terisak. “Tidak, Kanthi,” jawab Rara Wulan, “orang itu tahu pasti, siapakah kau dan apa yang sedang kau sandang.” “Tentu hanya didasari oleh perasaan belas kasihan. Rara, aku memang pantas untuk dikasihani. Tetapi aku tidak menginginkannya sama sekali,” jawab Kanthi. “Bukan Kanthi, bukan karena belas kasihan. Tetapi ia memang berharap bahwa kau akan dapat menjadi seorang yang akan bersama-sama membina sebuah keluarga,” berkata Rara Wulan. “Tidak. Itu tidak benar. Mungkin ia mengasihaniku. Tetapi mungkin ia justru ingin memanfaatkan keadaanku, sehingga pada suatu saat kelak akan dapat selalu menjadi landasan mengungkit keadaanku dalam setiap kesempatan, agar ia dapat memaksakan kehendaknya kepadaku.” “Kanthi,” berkata Sekar Mirah dengan suara yang sareh, “kau jangan terlalu curiga kepada semua orang. Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan oleh orang-orang sejenis Wiradadi. Tetapi menurut pendapatku, tidak bagi orang yang melamarmu. Ia memang bukan seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang lain. Ia dapat khilaf. Dapat kecewa, marah dan perasaan-perasaan lain sebagaimana kita. Ia bukannya orang yang tidak mempunyai cacat. Tetapi sikapnya terhadapmu Kanthi, aku tahu dan yakin, bahwa ia menyatakannya dengan tulus hati.” “Bagaimana aku dapat meyakininya Mbokayu? Aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Dalam kewajaran, semua orang akan memalingkan wajahnya jika melihat aku. Jika ada orang yang berniat melamarku, itu justru tentu ada niat-niat yang tersembunyi di dalam hatinya.” “Kanthi,“ Rara Wulan yang juga mulai terisak, “apa kau juga tidak percaya bahwa sikapku terhadapmu, sikap Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga, sebagai sikap yang wajar?” “Aku percaya Rara. Aku percaya, “jawab Kanthi dengan serta merta. “Nah, Kanthi. Bagaimana perasaanmu terhadap Wacana?” bertanya Rara Wulan kemudian. Jantung Kanthi berdesir. Ia mempunyai penilaian tersendiri terhadap anak muda itu. Anak muda yang sikapnya menunjukkan kedewasaannya berpikir dan berbuat. Ketika nama itu disebut, Kanthi menundukkan kepalanya. Isaknya masih saja mengguncang tubuhnya, sementara Rara Wulan memeluknya semakin erat. “Kanthi,” desis Rara Wulan, “Wacana minta kepada Kakang Glagah Putih agar aku bersedia menyampaikan perasaannya itu kepadamu. Jika kau tidak berkeberatan, tentu Wacana akan datang menemui orang tuamu.” “Tidak,“ suara Kanthi bagaikan meledak di sela-sela isaknya, “ia akan tersiksa di sepanjang hidupnya. Ia orang yang baik. Karena itu, aku tidak pantas menyakiti hatinya untuk waktu yang panjang tanpa batas.” “Tidak Kanthi,” jawab Rara Wulan, “ia sudah mengetahui keadaanmu seluruhnya.” Kanthi justru menangis. Pada dasar hatinya yang paling dalam, ia merasa bahagia mendengar pengakuan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru sangat mengharapkannya. Tetapi di sisi yang lain, ia merasa tidak berhak lagi menanggapi perasaan Wacana itu, karena ia sudah ternoda. Bahkan Kanthi merasa dirinya tidak lebih dari sampah yang tidak berharga. Namun Sekar Mirah pun berkata, “Kanthi. Aku mengerti perasaanmu. Rara Wulan juga mengerti sepenuhnya. Bahkan Wacana pun mengerti pula. Itulah sebabnya, ia minta tolong kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepadamu, karena kau percaya kepada Rara Wulan.” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sementara itu isak Kanthi menjadi semakin keras. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kepada Glagah Putih, Wacana telah mengatakannya, bahwa ia akan menerimamu seutuhnya. Justru karena ia tahu akan keadaanmu, maka ia tidak akan merasa kecewa, apalagi tersiksa di kemudian hari. Ia tahu bahwa kau akan melahirkan pada saatnya. Tetapi Wacana berjanji akan menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.” “Sekarang ia dapat berkata seperti itu, Mbokayu. Tetapi apakah ia dapat berkata demikian pula nanti, jika seorang bayi yang bukan anaknya itu lahir?” “Tentu,” jawab Sekar Mirah, “Wacana sudah lama berada di sini. Ia bukan seorang yang palsu dan berpura-pura. Namun yang barangkali perlu kau ketahui, ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.” Sejenak Kanthi mengangkat wajahnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Maksud Mbokayu?” “Wacana juga pernah mengalami kekecewaan yang hampir saja membuatnya gila. Bahkan ia seakan-akan dengan sengaja membunuh dirinya dalam sebuah perang tanding. Tetapi ia ternyata tetap hidup. Lawannya memang bukan seorang pembunuh.” “Apakah ia pernah ditinggalkan oleh seorang gadis yang kemudian memilih laki-laki lain?” bertanya Kanthi. “Gadis itu tidak pernah merasa meninggalkannya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Wacana mencintainya. Ketika ia menjatuhkan pilihannya, maka Wacana kehilangan keseimbangannya, sehingga ia telah mengambil langkah yang tidak sewajarnya.“ Kanthi menunduk lagi. Ia merenung dalam-dalam. Merenungi dirinya sendiri, dan ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Wacana. “Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “menurut Wacana, ia menemukan yang hilang itu ketika kau datang ke rumah ini. Yang hilang itu diketemukannya pada dirimu. Apa yang terjadi atasmu, dapat dimengertinya, karena Wacana juga pemah menjadi kehilangan akal. Tetapi karena ia seorang laki-laki, maka ia tidak akan dapat mengalami sebagaimana kau alami.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi ia mulai merenung. “Kanthi,” berkata Sekar Mirah, “sebagaimana kau tidak ingin dikasihani, maka Wacana pun juga tidak ingin dikasihani. Yang dimintanya adalah hubungan yang wajar antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan segala yang ada di dalam dirinya. Keduanya hendaknya dapat menerima dengan ikhlas, dengan harapan di masa datang yang cerah. Bagi Wacana dan kau Kanthi, yang terpenting adalah hari depan kalian. Kalian tidak boleh selalu digayuti beban persoalan-persoalan di masa yang telah lewat.” Kanthi masih belum menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa tangisnya justru mereda. “Kanthi,” berkata Rara Wulan, “jika kau tidak dapat menjawab hari ini, maka aku akan minta Wacana menunggu satu dua hari ini. Tetapi kau tahu bahwa menunggu adalah satu kerja yang sangat menggelisahkan. Meskipun demkian, aku yakin bahwa Wacana akan bersedia menunggu satu dua hari lagi.” Yang tidak diduga oleh Rara Wulan dan Sekar Mirah adalah bahwa Kanthi itu justru telah menangis. Tetapi tangisnya tidak tertahan-tahan lagi. Ia menangis seakan-akan menuangkan segenap beban di jantungnya. Rara Wulan yang memeluknya merasa bahwa tangisnya berbeda dengan tangis Kanthi sebelumnya. Meskipun demikian Rara Wulan berusaha untuk menenangkannya, meskipun matanya sendiri juga menjadi basah. “Sudahlah Kanthi. Beristirahatlah. Kau sempat memikirkannya. Kau dapat berpikir dengan bening. Melihat bukan hanya ke masa lalu, tetapi justru ke masa depan yang masih panjang. Mudah-mudahan kau mendapat terang di hatimu dari Yang Maha Agung,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi mengangguk. Bukan karena terpaksa. Tetapi nampaknya Kanthi telah menemukan jawaban di dalam dirinya, meskipun masih sempat membuatnya ragu. “Besok sore aku ingin mendengar jawabanmu. Dengan demikian Wacana tidak akan terlalu lama menunggu. Hatinya tentu masih saja dibayangi oleh saat-saat yang pahit, ketika ia sadar bahwa ia telah kehilangan.” Kanthi mengangguk. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Kanthi belum menjawab, tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah dapat berpengharapan bahwa permintaan Wacana itu akan diterima oleh Kanthi. Meskipun keduanya sadar, bahwa hati Kanthi masih belum benar-benar mapan sehingga setiap saat masih dapat berubah. Bahkan mungkin perubahan itu sangat mengejutkan. Tetapi keduanya berharap, bahwa hati Kanthi sudah tidak terguncang-guncang lagi. Malam itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak memaksa Kanthi untuk memberikan jawaban, meskipun mereka tahu bahwa Wacana tentu menunggu. Bahkan Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baiklah Kanthi. marilah kita beristirahat. Mungkin setelah kau tidur, besok kau menemukan jawab yang paling baik atas pernyataan Wacana itu. Tentu saja bahwa kami semuanya, maksudku Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan aku sendiri berharap, agar Wacana tidak menjadi kecewa karenanya.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi tangisnya telah mereda. Bahkan isaknya tinggal satu-satu. Namun sekali-sekali Kanthi masih mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya. Demikianlah, sejenak kemudian Kanthi pun telah berada di dalam bilik bersama Rara Wulan. Ketika mereka kemudian berbaring, maka Kanthi tiba-tiba saja bertanya di luar sadarnya, “Rara, bagaimana anggapanmu tentang kejujuran Wacana?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku percaya kepadanya, Kanthi. Ia sendiri pernah mengalami sebagaimana kau alami. Karena itu ia tentu dapat merasakan, sebagaimana kau rasakan. Dalam keadaan yang demikian, ia tentu tidak akan memikirkan untuk memanfaatkan keadaanmu, atau sikap-sikap licik yang lain.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa perasaan Kanthi menjadi lebih tenang. Nafasnya mulai teratur dan tubuhnya yang terbaring diam terasa bahwa Kanthi benar-benar telah menjadi tenang. Rara Wulan hanya dapat berdoa di dalam hati, mudah-mudahan niat baik Wacana itu dapat diterimanya. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk di pendapa. Sementara Glagah Putih dan Wacana sudah tidak ada lagi di serambi gandok. Ternyata mereka telah berada di dalam sanggar. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, yang kemudian disebut Sukra, telah berada di dalam sanggar pula. Bersama Glagah Putih ia berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Setiap kali ia mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Namun kemudian sedikit demi sedikit Glagah Putih telah menambah unsur yang baru pula. Wacana yang sedikit demi sedikit sudah mulai berlatih pula, malam itu hanya menunggui dan melihat bagaimana Sukra meningkatkan kemampuannya setapak demi setapak. Namun ternyata anak itu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Bahkan rasa-rasanya tidak mengenal lelah. Meskipun ia telah pernah dibuat jera oleh Glagah Putih, namun kadang-kadang ia masih tampak kecewa jika latihan diakhiri, meskipun ia tidak lagi berani membantah. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa puas pula melihat perkembangan kemampuan Sukra. Namun Glagah Putih juga merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Sukra selanjutnya, setelah ia merasa memiliki dasar-dasar kemampuan bela diri. “Anak itu tidak boleh kehilangan kekang diri,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Karena itu, setiap kali Sukra akan berlatih, maka Glagah Putih selalu memberinya beberapa petunjuk agar Sukra menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. Bukan sebaliknya. Lebih dari itu, Sukra sama sekali tidak boleh melupakan Sumber Hidupnya. Dengan berpegangan pada Sumber Hidupnya, maka seseorang akan selalu mawas diri dalam segala tingkah lakunya. Malam itu, Glagah Putih mengakhiri latihannya menjelang tengah malam. Tubuh anak itu seluruhnya telah basah oleh keringat. Dadanya yang terbuka nampak menjadi basah kuyup, seolah-olah Sukra baru saja berendam di dalam belumbang. Wacana yang menyaksikan latihan itu, sejenak telah melupakan persoalan dirinya sendiri. Ia juga merasa kagum terhadap Sukra yang masih sangat muda itu. Tetapi kemauannya agaknya telah membakar gairahnya untuk segera menguasai dasar-dasar kemampuan bela diri. Namun, meskipun gairahnya untuk berlatih tidak menyusut, tetapi tujuannya menguasai dasar-dasar kemampuan ilmu bela diri perlahan-lahan telah bergeser. Karena pengaruh petunjuk dan nasehat-nasehat Glagah Putih yang terus menerus diberikan setiap Sukra akan berlatih, telah membuat Sukra semakin mengerti arti dari kemampuan yang sedikit demi sedikit telah dimilikinya. Dengan demikian, maka sikap Sukra kepada kawan-kawannya sedikit berubah. Sukra menjadi lebih sabar dan penalarannya pun menjadi semakin terang. Malam itu, setelah berlatih serta setelah membersihkan dirinya di pakiwan, rasa-rasanya Sukra masih juga ingin melihat pliridannya yang telah dibuka sejak menjelang senja. Sementara Glagah Putih dan Wacana telah pergi ke serambi gandok, maka Sukra justru mengemasi alat-alatnya untuk dibawa ke sungai. Wacana dan Glagah Putih tidak terlalu lama duduk di serambi. Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke pakiwan pula untuk membenahi dirinya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka iapun telah pergi ke biliknya pula. Wacana memang tidak segera dapat tidur. Ia harus menanti jawaban Kanthi. Namun Wacana pun sadar, bahwa bagaimanapun juga, agaknya Kanthi memerlukan waktu untuk berpikir. Dalam pada itu, ketika Sukra turun ke sungai, ia terkejut melihat beberapa orang anak berkerumun di tepian. Demikian Sukra turun, maka serentak anak-anak itu segera menyesuaikan diri dengan memanggilnya Sukra pula. Sukra yang tertegun itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kalian berkumpul di sini? Bukankah ini bukan waktunya? Saat menutup pliridan yang pertama sudah lewat, sementara masih ada beberapa waktu lagi untuk menutup pliridan yang kedua.” “Baru saja aku akan pergi memanggilmu,” berkata seorang anak yang bertubuh gemuk. “Apa yang terjadi?” bertanya Sukra. “Anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng,” jawab anak itu. “Kenapa?” bertanya Sukra. “Mereka telah datang mengganggu kami. Mereka lewat menelusuri sungai ini, berusaha merusak beberapa pliridan tanpa sebab.” “Kenapa tiba-tiba mereka menjadi liar seperti itu?” bertanya Sukra. “Kami tidak tahu. Ketika mereka lewat, hanya ada dua orang kawan kita yang sedang bersip-siap menutup pliridannya.” “Siapa?” bertanya Sukra. “Aku dan Beja,” jawab seorang anak yang kekurus-kurusan. Sementara itu anak yang rambutnya dicukur gundul dan bernama Beja menyahut, “Mereka memukuli aku dan Siwar.” “Sekarang mereka pergi kemana?” bertanya Sukra. “Mereka justru pergi ke arah selatan,” jawab Siwar. “Bukankah Wadas Ireng terletak di sebelah utara Tanah Perdikan ini?” “Ya.” jawab Beja, “tetapi mereka pergi ke selatan. Karena itu, kami kumpulkan kawan-kawan. Mungkin mereka akan kembali lagi menyusuri sungai ini.” “Tetapi tidak terbiasa mereka berbuat seperti itu. Bukankah kita kenal beberapa orang anak dari Wadas Ireng?” desis Sukra. “Ya. Tetapi agaknya anak-anak Wadas Ireng ada yang baru dan ada yang tidak baik, seperti anak-anak Tanah Perdikan ini pula,” sahut anak yang agak gemuk itu. “Tetapi bukankah mereka atau orang tua mereka pernah mendengar tentang Tanah Perdikan ini?” bertanya Sukra. “Ya. Anak-anak itu justru menantang. Mereka mengatakan agar kita melaporkan kepada orang-orang tua kami yang katanya berilmu tinggi,” berkata Siwar. “Ini tentu tidak biasa,” berkata Sukra, “tentu ada sesuatu yang telah terjadi di Kademangan Wadas Ireng.” “Maksudmu?” bertanya anak yang agak gemuk itu. “Seperti yang terjadi di Kademangan Kleringan. Sekelompok anak muda telah terjerumus ke dalam kebiasaan minum tuak. Mereka menjadi mabuk di kedai-kedai yang menyediakan tuak dan bahkan di jalan-jalan. Mereka mengganggu orang-orang lewat, dan bahkan sama sekali tidak terkendali. Aku mendengar dari Glagah Putih, yang meskipun tidak langsung berbicara kepadaku.” “Apakah anak-anak Wadas Ireng juga mulai minum tuak?” bertanya Beja, “Mereka masih anak-anak seperti kita.” “Kalau mereka masih kanak-kanak seperti kita sudah mulai bergerombol-gerombol dan bertindak tidak wajar, apa jadinya nanti jika mereka sudah menjadi lebih besar?” desis Siwar. “Karena itu, tentu sesuatu sudah terjadi,” berkata Sukra sambil mengangguk-angguk. Gayanya menirukan gaya orang-orang dewasa yang sedang membicarakan satu persoalan bersungguh-sungguh. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya anak yang agak gemuk. “Kita tunggu sejenak, jika mereka lewat kita tidak usah mengganggunya. Kecuali jika mereka mengganggu kita.” Kawan-kawan Sukra mengangguk-angguk. Namun ketika Sukra mengatakan bahwa ia akan menutup pliridannya, maka Siwar itu pun berkata, “Pliridanmu dibuka tidak saja bagian atasnya, tetapi juga bagian bawahnya.” “Jadi mereka juga merusak pliridanku?” bertanya Sukra. “Ya. Semua pliridan telah dibuka,” jawab Siwar. Sukra memang menjadi marah. Tetapi perasaannya justru sudah mulai terkendali. Ia tidak segera menghentak sambil mengepalkan tinjunya. Namun Sukra hanya berkata dengan nada geram, “Kita akan menunggu mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan mulai.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun Sukra bukan anak yang terbesar di antara mereka, tetapi tiba-tiba saja Sukra dengan diam-diam telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka. Sementara sambil menunggu, maka anak-anak itu telah memperbaiki pliridan yang telah rusak. Pliridan Sukra, pliridan Beja dan Siwar dan satu pliridan lagi milik anak yang agak gemuk itu. Ketiga pliridan itu berjarak masing-masing beberapa puluh langkah, sehingga anak-anak itu pun kemudian telah tersebar. Sedangkan berjarak beberapa puluh langkah ke arah udik, terdapat pula pliridan. Tetapi karena tempatnya yang agak jauh, maka mereka tidak melihat apakah pliridan itu juga dirusak. Sebenarnyalah sekelompok anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng telah berjalan menelusuri sungai itu. Mereka adalah anak-anak yang meningkat remaja. Seorang di antara mereka yang berpengaruh, ternyata telah berbuat hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak-anak remaja. Pergaulannya dengan anak-anak muda yang lebih besar daripadanya, telah membuatnya melangkah lebih jauh dari umurnya. Remaja itu telah mengenal minuman yang disebut tuak. Bahkan tingkah laku yang kurang pantas dan sikap yang tidak terpuji. Orang-orang tua di Kademangan Wadas Ireng telah dibuat pening oleh tingkah laku beberapa orang anak muda. Mereka bahkan dibayangi oleh pertanyaan, kenapa tingkah laku yang tidak wajar itu menghinggapi anak-anak muda di beberapa Kademangan, hampir merupakan satu ledakan yang bersamaan? Bahkan kemudian anak-anak remaja pun telah dihinggapi pula cacat yang menular dari tataran usia yang lebih tua. Malam itu, anak-anak Wadas Ireng dipimpin oleh seorang remaja, yang mulai terpengaruh oleh kebiasaan buruk sekelompok kecil anak-anak muda di Kademangan Wadas Ireng, telah menelusuri sungai yang melewati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak-anak itu belum mampu membuat penilaian tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka hanya sekedar menuruti kesenangan mereka dan gejolak jiwa petualangan yang tidak terarah. Seperti yang diduga anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak dari Wadas Ireng itu benar-benar kembali lewat sungai itu pula. Bahkan mereka masih saja bertingkah laku tidak sewajarnya. Mereka melemparkan batu-batu sebesar telur ayam, dan bahkan mereka berbicara yang satu dengan yang lain dengan keras, tanpa menghiraukan suasana malam di sebelah-menyebelah sungai itu. Ketika anak-anak Tanah Perdikan mendengar sekelompok anak-anak Wadas Ireng itu kembali, maka mereka pun segera berkumpul. Anak-anak Tanah Perdikan itu pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beja dan Siwar yang telah mengalami perlakuan buruk, telah bersiap untuk membalas. “Kau tidak boleh mendendam,” desis Sukra. “He?” Beja dan Siwar heran mendengar kata-kata itu, “Maksudmu?” “Jika mereka nanti tidak berbuat apa-apa, kita juga tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika mereka mendahului mengganggu kita, kita akan mempertahankan diri.” Beja dan Siwar mengerutkan dahinya. Sementara Beja berkata, “Ketika mereka lewat, kami hanya berdua saja. Mereka telah memukul kami. Kepalaku yang gundul telah ditamparnya.” “Kita harus berjiwa besar,” Sukra menirukan nasehat Glagah Putih, “tetapi seperti yang aku katakan, jika mereka mendahului, maka kita akan mempertahankan diri. Kita tidak mau dipukuli apapun alasannya.” “Jika mereka tidak memukul kita lagi?” bertanya Siwar. “Biarlah mereka lewat,” jawab Sukra. “Tetapi mereka sudah memukuli aku dan Beja,” desak Siwar. “Lupakan itu. Bukankah kita orang baik yang berjiwa besar?” jawab Sukra. Anak-anak Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Ya. Kita orang baik dan berjiwa besar.” Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok anak-anak yang menyusuri sungai. Mereka sudah mendengar gemercik air yang didera oleh kaki-kaki kecil. Sekali-sekali mereka mendengar gemerasak pohon-pohon perdu yang terkena lemparan bebatuan di tepi sungai itu. Bahkan suara tertawa riang, dan kemudian percakapan yang simpang siur. Anak-anak Tanah Perdikan berdiri berjajar di tepian. Nampaknya mereka tidak ingin melanggar pesan Sukra, agar mereka menjadi anak yang baik dan berjiwa besar. Ternyata anak-anak Wadas Ireng itu menyadari, bahwa di hadapan mereka berdiri sekelompok anak-anak Tanah Perdikan, yang rata-rata sebaya dengan mereka dan jumlahnya pun tidak terpaut banyak. Tiba-tiba seorang yang paling berpengaruh di antara mereka tertawa. Katanya, “Bagus. Kita akan mendapat kawan bermain.” Anak-anak itu memang menjadi gembira. Berlari-lari mereka mendekati anak-anak Tanah Perdikan yang sudah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih saling berdiam diri. Namun kemudian anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu bertanya, “He, apakah kalian sengaja mencegat kami?” Yang menjawab adalah Sukra, “Tidak.” “Kenapa kalian berkumpul di sini?” bertanya anak itu. “Kami ingin melindungi kawan-kawan kami dari kenakalan anak-anak dari padukuhan yang lain. Kami tidak mau ada kawan-kawan kami yang menjadi sasaran pemukulan,” jawab Sukra. Anak itu tertawa. Katanya, “Kami sudah memukuli dua anak di sini tadi. Seorang di antaranya anak gundul.” “Sekarang tidak lagi,” jawab Sukra, “tidak ada yang boleh dipukuli.” “Menarik sekali memukuli anak yang kepala gundul. He, berikan anak itu. Aku ingin memukulinya lagi.” “Itu namanya menantang,” jawab Sukra, “kau memang mencari persoalan.” “Kepala gundul itu menyenangkan,” jawab anak itu. “Kami sebenarnya tidak ingin berkelahi. Kami berusaha melupakan bahwa kau sudah memukuli kawan kami, karena kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar. Tetapi jika kalian akan mulai lagi, maka justru aku akan menantang berkelahi seorang lawan seorang,” berkata Sukra, “aku akan mewakili kawan-kawanku.” Sejenak anak-anak Kademangan Wadas Ireng itu terdiam. Namun tiba-tiba anak yang terbesar di antara mereka itu pun tertawa. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “Agaknya kau memang suka bergurau. Aku senang mendengarnya. Tetapi itu tidak akan mengurungkan niat kami menampar kepala gundul itu.” “Aku tidak bergurau,” berkata Sukra, “aku menantangmu. Itu pun belum menjamin bahwa kau akan dapat menampar kepala gundul itu. Jika kalah, maka kawan-kawanku akan melindunginya, sehingga kalian harus berkelahi dahulu. Jika kami semua sudah kalian kalahkan, maka barulah kalian dapat memukuli kepala gundul itu.” Anak itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata, “Aku setuju. Seorang di antara kita masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang. Aku akan mewakili kawan-kawanku. Tetapi kalian harus diwakili oleh anak yang terbesar di antara kalian.” “Tidak,” jawab Sukra, “aku yang akan mewakili kawan-kawanku. Kalian tidak berhak menentukan. Siapapun yang akan mewakili kami, itu adalah urusan kami.” “Kau akan menyesal,” berkata anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu. Anak yang terbiasa bergaul dengan sekelompok kecil anak-anak muda yang mulai menempuh jalan sesat. Tetapi Sukra menjawab, “Tidak. Aku tidak akan menyesal. Apapun yang terjadi, itu sudah aku kehendaki.” “Bagus,” sahut anak itu, “bersiaplah.” Sukra memberi isyarat kawan-kawannya untuk mundur. Demikian pula anak Wadas Ireng yang akan mewakili kawan-kawannya itu. Kedua kelompok anak-anak itu membentuk lingkaran di tepian. Sementara Sukra dan anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu berada di tengah. “Siapa namamu?” tiba-tiba anak Wadas Ireng itu bertanya. “Namaku Sukra. Siapa namamu?” Sukra ganti bertanya. “Namaku Lugu. Anak-anak sebayaku, bahkan anak yang lebih besar dari aku, takut kepadaku. Apalagi anak seperti kau. Kau tentu akan segera berjongkok minta ampun di hadapanku.” “Bagus,” jawab Sukra, “kita akan berkelahi. Jika ada seorang di antara kelompok kita masing-masing yang membantu, maka ia dianggap kalah. Jika paugeran ini dilanggar, maka kita akan berkelahi bersama-sama meskipun sebenarnya tidak kami kehendaki, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar.” “Cukup! Bersiaplah!“ anak itu tiba-tiba membentak. Sukra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian keduanya bergeser beberapa langkah. Namun Lugu itu pun segera meloncat menyerang dengan ayunan tangannya. Sukra yang sudah bersiap itu pun segera mengelak. Tangan itu terayun deras. Tetapi tidak menyentuh sasarannya. Tetapi Lugu tidak membiarkan Sukra luput dari jangkauan serangannya. Iapun segera meloncat menerkam dengan kedua tangannya yang langsung mengarah ke leher. Sukra terkejut melihat serangan itu. Serangan itu baginya tidak terlalu berbahaya. Tetapi bahwa anak itu langsung berusaha mencengkam leher adalah pertanda betapa garangnya, bahkan akibatnya akan dapat menjadi sangat mengerikan. Sukra berkisar ke samping. namun ia sempat berkata, “Kenapa kau berkelahi dengan kasar? Jika kau berhasil mencengkam leherku, apa yang akan kau lakukan?” “Mencekikmu,” jawab Lugu. “Aku dapat mati karenanya,” berkata Sukra kemudian. “Aku tidak peduli. Dalam satu perkelahian yang disepakati seorang lawan seorang, mati adalah akibat wajar, yang membunuh tidak dapat dianggap bersalah. Bahkan ia pantas mendapat kehormatan sebagai seorang pahlawan.” “Gila,” geram Sukra, “siapa yang telah meracuni otakmu dengan sikap seperti itu?” Lugu berhenti menyerang. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau menjadi ketakutan?” “Tidak. Kau tidak berbahaya bagiku. Tetapi kau adalah barbahaya bagi anak yang lain. Kau benar-benar dapat membunuh dengan caramu berkelahi itu. Apakah membunuh bagimu dapat menjadi satu kebanggaan, sementara seseorang yang telah membunuh sesamanya akan selalu dikejar oleh penyesalan?” “Para prajurit membunuh di medan perang,” jawab Lugu. “Membunuh dan berperang itu tidak sama,” jawab Sukra. “Lidahmu yang agaknya bercabang seperti lidah ular. Tetapi aku tidak perduli. mungkin kau memang akan mati dalam perkelahian ini. Tetapi sekali lagi aku katakan, mati adalah akibat yang sangat wajar.” “Bagaimana jika kau yang mati?” bertanya Sukra. Anak itu tertawa, katanya, “Hanya anak bintang yang turun dari langit yang dapat mengalahkan apalagi membunuh aku.” Namun jawab Sukra, “Bagus. Aku adalah anak bintang.” Lugu itu mengerutkan dahinya. Namun Sukra pun berkata, “Bersiaplah kau anak bayangan kegelapan. Sudah saatnya anak bintang turun dari langit.” Sikap hati Lugu membuat Sukra menjadi marah. Meskipun demikian, ia tidak pernah melupakan pesan Glagah Putih agar tidak kehilangan kendali diri. Demikianlah, sejenak kemudian Lugu sudah mulai menyerang lagi. Ia mengira bahwa Sukra menjadi takut melihat kedua tangannya yang terjulur mengarah ke lehernya. Karena itu, maka ketika serangan kakinya tidak mengenai sasaran karena Sukra menghindar, maka Lugu itu pun telah mengulangi serangannya dengan kedua tangannya terjulur ke arah leher Sukra. Namun Sukra benar-benar menjadi marah melihat serangan yang berbahaya itu. Bahkan menurut pendapat Sukra, serangan itu sangat berlebihan bagi perselisihan anak-anak. Apabila sikap Lugu bahwa ia sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain dalam persoalan yang sebenarnya tidak berarti itu. Karena itu, ketika Sukra melihat tangan yang terjulur itu, maka iapun menggeram marah. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Namun kemudian kakinya terayun mendatar dengan derasnya mengenai lambung. Lugu terdorong beberapa langkah ke samping, bahkan kemudian anak itu terjatuh di atas pasir tepian. Namun anak itu segera bangkit kembali. Lugu memang menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Namun tidak lama. Sejenak kemudian iapun telah bersiap untuk berkelahi lagi. Bahkan dengan lantang iapun berkata, “He, kau telah menyakiti aku. Akibatnya akan sangat buruk bagimu.” Sukra tidak menghiraukannya. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawannya yang lebih besar daripadanya itu. Demikianlah, Lugu itu telah menyerang dengan garangnya. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kerasnya. Tetapi dengan tangkas Sukra menghindar. Namun sekali-sekali Sukra terpaksa menangkis serangan-serangan itu. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Sukra harus mengakui bahwa kekuatan Lugu lebih besar dari kekuatannya, sehingga kadang-kadang Sukra terdorong surut. Namun Sukra yang telah mempelajari dasar-dasar kemampuan bela diri dengan tekun, memiliki kesempatan lebih baik. Lugu kadang-kadang merasa kehilangan lawannya yang berloncatan. Namun tiba-tiba Sukra telah menyerang dengan derasnya, sehingga Lugu-lah yang terdorong surut. Lugu menjadi semakin marah ketika serangan-serangan Sukra semakin lama semakin sering mengenai tubuhnya. Sekali dua kali, Lugu yang memiliki tubuh dan daya yang sangat kuat itu tidak menghiraukannya. Tetapi semakin sering Sukra mengenainya, maka perasaan sakit itu menjadi semakin terasa menyengat tubuhnya dimana-mana. Dalam pada itu, anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng dan anak-anak padukuhan induk Tanah Perdikan itu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Sekali-sekali anak-anak Tanah Perdikan yang bersorak, namun di kesempatan lain, anak-anak Wadas Ireng-lah yang bersorak-sorak. Orang-orang yang sedang meronda di padukuhan induk, mendengar suara-suara ramai di tepian meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi mereka menyangka bahwa anak-anak sedang bermain sambil menutup pliridan mereka di sungai. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak di tepian itu sedang menonton Sukra dan Lugu yang sedang berkelahi. Sementara itu Lugu masih mampu berkelahi dengan garangnya. Ia benar-benar menjadi keras dan bahkan kasar. Namun Sukra dengan tangkas mengimbanginya. Latihan-latihan yang berat membuatnya mampu bergerak cepat untuk mengatasi kekuatan Lugu yang sangat besar bagi anak-anak. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dibandingkan dengan Sukra. Meskipun demikian, ternyata semakin lama Lugu semakin mengalami kesulitan. Hanya karena daya lahannya yang tinggi serta kekuatannya yang besar sajalah yang membuatnya masih dapat bertahan terus. Sementara itu, meskipun Sukra lebih kecil dan lebih muda, tetapi tenaganya sudah terlatih. Sukra itu mampu memperhitungkan agar ia tidak kehabisan tenaganya. Dalam pada itu, semakin lama Sukra menjadi semakin sering mengenai tubuh Lugu dengan serangan-serangannya yang cepat. Tetapi perlawanan Lugu masih belum menjadi susut. Meskipun beberapa kali Lugu terdorong dan jatuh di atas pasir tepian, namun ia segera bangkit dan siap untuk berkelahi lagi. Sukra-lah yang justru mulai merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah terlepas untuk mengimbangi kekuatan dan daya tahan lawannya yang tinggi. Karena itu, Sukra mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut. Karena itu, maka Sukra harus mulai mempertimbangkan benar-benar tata geraknya, agar ia tidak menjadi kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum Lugu dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya maka Sukra mulai memperhitungkan benar-benar sasaran serangannya. Sukra mulai mengarahkan serangan-serangannya pada bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi tidak membahayakannya. Dengan demikian maka Sukra semakin sering berusaha menyerang dan mengenai lambung lawannya. Tidak saja dengan tumit kakinya, tetapi dengan jari-jarinya yang terbuka dan merapat. Pada kesempatan itu, sisi telapak tangan Sukra telah menghantam pundak Lugu, sehingga sebelah tangan anak itu rasa-rasanya untuk beberapa saat telah melemah. Pada kesempatan itu, Sukra telah mengarahkan serangannya pada sisi yang lemah itu. Beberapa kali kakinya terjulur mengenai lengan dan bahu yang rasa-rasanya menjadi semakin kesakitan. Lugu mengumpat dengan kasar. Namun serangan-serangan Sukra datang beruntun seperti banjir yang mengalir tidak putus-putusnya. Serangan disusul dengan serangan, sehingga Lugu tidak sempat menangkis dan menghindar. Karena itu, Lugu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kawan-kawannya yang melingkarinya harus menyibak ketika Lugu terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Sukra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebelum Lugu sempat memperbaiki kedudukannya, Sukra itu melenting menyerang dada Lugu dengan kakinya yang terjulur menyamping. Serangan Sukra cukup keras meskipun sebenarnya tenaganya sudah mulai menyusut. Apalagi pada saat-saat terakhir, Sukra harus mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Lugu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga. Sukra memang menyadari, jika usahanya terakhir itu gagal sementara ia sudah kehabisan tenaga, maka Lugu-lah yang akan menguasainya, dan ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Tetapi dengan perhitungan yang baik, Sukra yakin akan dapat menundukkan lawannya itu sebelum tenaganya habis. Serangan kaki Sukra itu ternyata telah melemparkan Lugu beberapa langkah. Serangan yang cukup keras itu membuat Lugu kehilangan keseimbangannya. Karena itu, maka tubuh Lugu itu telah terdorong dan jatuh menggelepar di dalam air. Lugu memang berusaha untuk bangkit agar air sungai itu tidak terlalu banyak masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Meskipun kemudian Lugu itu berhasil untuk berdiri, tetapi hanya sesaat. Tubuhnya yang merasa sakit dimana-mana, nafasnya yang menjadi sesak demikian dadanya terkena serangan kaki Sukra, serta tenaganya yang juga terkuras, membuat Lugu benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia mencoba melangkah ke tepian, iapun telah terjatuh lagi. Tetapi Lugu telah berhasil keluar dari air sungai yang mengalir tidak terlalu deras itu. Sukra berdiri termangu-mangu. Kawan-kawannya telah bersorak meneriakkan kemenangan. Beberapa orang kawan Lugu telah berlari memburunya. Mereka berusaha untuk menolong Lugu dengan mengangkat tubuhnya dan membantunya berdiri. Lugu kemudian memang dapat berdiri. Tetapi dua orang kawannya harus membantunya. Namun Lugu masih belum mengakui kekalahannya. Dengan lantang ia berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak kalah. Kita akan membuat anak-anak yang licik itu menjadi jera. Kita akan berkelahi bersama-sama.” Sukra yang nafasnya masih terengah-engah itu menjadi berdebar-debar. Meskipun menurut perhitungannya anak-anak Padukuhan induk Tanah Perdikan itu tidak akan kalah, namun ia sendiri memerlukan untuk beristirahat barang beberapa saat. Karena itu, Sukra itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “He, apakah kalian akan berkelahi beramai-ramai?” “Kalian akan dihancurkan,“ geram Lugu yang masih belum dapat berdiri tegak. “Kalian tanpa Lugu tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Sementara itu, kalian lihat bahwa Lugu sudah tidak berdaya. Jika aku mempunyai landasan pikiran seperti Lugu, maka aku sudah mencekiknya. Menurut Lugu, jika dalam perkelahian seseorang terlanjur mati, maka yang membunuh tidak dapat dipersalahkan.” Anak-anak Wadas Ireng itu terdiam. Ternyata ketika ancaman itu ditujukan kepada mereka, maka mereka pun menjadi sangat ngeri. Bahkan Lugu sendiri merasa ngeri mendengarnya. Namun ternyata Lugu itu masih belum juga mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun berkata, “Kau tidak perlu menakut-nakuti kami. Kau kira aku tidak dapat berkelahi lagi? Sebentar lagi tenagaku akan pulih. Aku akan memilin leher anak-anak padukuhan ini. Seorang demi seorang. Dan kau adalah anak yang pertama akan kuhancurkan.” Tetapi Sukra tertawa. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pernafasannya sangat membantu memulihkan kekuatannya. “Kau masih juga mengigau, Lugu. Berdiripun kau sudah tidak mampu lagi. Apalagi memilin leher kami.” “Persetan kau,” geram Lugu. Tetapi ketika ia melangkahkan kakinya, maka ia masih saja terhuyung-huyung. Kawan-kawannya yang membantunya berdiri, dengan cepat menahannya agar Lugu itu tidak terjatuh. Meskipun demikian, ia masih berteriak, “Ayo kawan-kawan, kita hancurkan anak-anak yang licik itu!” Tetapi sekali lagi Sukra tertawa keras-keras. Katanya, “Sebenarnya kau mau apa, Lugu? Melangkah pun kau sudah tidak mampu lagi.” “Anak-anak Wadas Ireng bukan anak-anak cengeng!“ bentak Lugu. Lalu katanya sekali lagi kepada kavan-kawannya, “Cepat! Selesaikan mereka!” Namun tiba-tiba Sukra itu pun menggeram, “Mari. Siapa yang ingin aku patahkan lengannya? Kau lihat, aku berkata sebenarnya. Dan aku pun mampu melakukannya. Berbeda dengan Lugu. Ia hanya dapat berteriak-teriak dan membentak-bentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Anak-anak Wadas Ireng itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Lugu itu membentak lagi, “Cepat! Siapa yang tidak mau melakukannya, aku besok akan menghukumnya. Hukuman yang belum pernah aku berikan kepada kalian sebelumnya.” Anak-anak Wadas Ireng itu menjadi bingung. Mereka merasa ngeri untuk berkelahi, apalagi melawan Sukra. Tetapi mereka pun menjadi ketakutan mendengar ancaman Lugu. Jika mereka menolak untuk melakukan perintah Lugu, maka nasib mereka akan menjadi buruk untuk waktu yang lama. Kemarahan Lugu tidak hanya akan terbatas dalam satu dua hari. Tetapi ia adalah pendendam yang berkepanjangan. Sukra yang melihat anak-anak Wadas Ireng itu ragu-ragu berkata lantang, “He, apakah kalian merasa sulit untuk memilih? Berkelahi melawan kami, atau dimusuhi Lugu dan bahkan menerima hukumannya?” “Cukup! Aku koyak mulutmu!“ teriak Lugu. Tiba-tiba saja darah Sukra naik sampai ke kepala. Dengan kecepatan yang tinggi ia meloncat ke arah Lugu. Satu ayunan tangannya telah menampar mulut yang baru saja terkatup itu. Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya menjadi pecah dan darah mulai mengalir duri luka di bibirnya itu. “Ayo, berteriaklah sekali lagi!“ bentak Sukra. Lugu memang bergeser mundur. Dua orang yang membantunya berdiri ikut bergeser pula. Tetapi keduanya menjadi gemetar melihat sikap Sukra. Bahkan Sukra itu berkata selanjutnya dengan nada marah, “Aku dapat mencekikmu, Lugu. Mengerti? Mulutmu jangan kau buka sekali lagi. Aku akan memukulimu sampai kau terdiam.” Namun ternyata harga diri Lugu itu cukup tinggi. Meskipun mulutnya terasa sakit dan bibirnya rasa-rasanya-menjadi semakin tebal bergayut di mulutnya, namun ia masih menjawab, “Kau tidak berhak memerintah aku.” Ternyata Sukra tidak hanya menggertak. Karena anak itu membuka mulutnya lagi, maka Sukra pun benar-benar memukul mulut Lugu. Sekali lagi Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya yang berdarah menjadi semakin berdarah. Bahkan hampir saja Lugu tidak dapat menahan tangisnya. Kedua kawannya yang membantunya berdiri menjadi semakin gemetar. Tetapi Lugu benar-benar terdiam. “Jika kau tidak mau diam, maka kedua anak yang membantumu berdiri itu pun akan aku pukuli, supaya melepaskanmu. Aku akan membenamkan kepalamu ke dalam air sehingga perutmu menjadi kembung. Aku tidak peduli apakah kau akan mati atau tidak.” Lugu benar-benar terdiam. Sementara Sukra berkata sambil melangkah hilir mudik. Tangannya bergerak-gerak mengikuti irama kata-katanya yang meluncur dari mulutnya. Sukra memang sengaja menirukan sikap Agung Sedayu, yang dianggapnya lebih tua dari Glagah Putih, “Aku bersungguh-sungguh sekarang.” Tidak seorang pun yang menyahut. Namun tiba-tiba Sukra itu berhenti melangkah. Dipandanginya anak-anak Wadas Ireng yang masih berkerumun di sekitar Lugu yang kesakitan. Dipandanginya anak-anak itu dengan tatapan mata yang tajam. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kalian menjadi demikian takut kepada Lugu?” Anak-anak itu masih tetap berdiam diri. “Seharusnya kalian tidak takut. Mungkin kalian seorang-seorang tidak berani melawan Lugu. Tidak seorangpun di antara kalian yang dapat mengalahkannya. Tetapi jika kalian bersepakat untuk melawannya, batapapun kuatnya anak itu, tetapi kekuatannya tidak akan melebihi empat orang anak di antara kalian. Atau barangkali lima orang. Jika jumlah kalian sepuluh atau lebih, maka Lugu bukan apa-apa bagi kalian,” berkata Sukra. Anak-anak itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang kemudian bertanya adalah justru anak padukuhan induk itu, “Bagaimana kalau Lugu mengancam anak-anak Wadas Ireng seorang demi seorang?” “Anak-anak Wadas Ireng itu bersama-sama mengancam Lugu. Jika ada satu saja di antara kawan-kawannya yang disakiti Lugu, maka Lugu akan dihajar beramai-ramai tanpa ampun. Nah, dengan demikian Lugu tidak akan pernah mengancam siapapun di Kademangan Wadas Ireng.” Anak-anak Wadas Ireng itu saling berpandangan. Kata-kata Sukra itu nampaknya dapat mereka pahami. Namun seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika ada yang berkhianat? Mungkin karena keuntungan yang didapatinya, mungkin Lugu memberinya uang atau makanan atau apa saja, sehingga beberapa orang justru membantunya?” “Jumlah anak-anak yang baik tentu berlipat,” jawab Sukra. Seorang anak padukuhan induk yang lain berteriak, “Yang berkhianat akan dihukum lebih berat dari Lugu sendiri.” Wajah Lugu menjadi merah padam. Hampir saja ia berteriak oleh kemarahan yang menyesakkan dadanya. Namun baru saja ia bergeser, maka Sukra berkata, “Ingat Lugu. Jika sepatah kata saja keluar dari mulutmu, maka kedua bibirmu akan rontok.” Lugu benar-benar menjadi ketakutan oleh ancaman Sukra yang nampaknya memang tidak main-main. Namun tiba-tiba seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika Lugu minta bantuan anak-anak yang lebih besar, yang agaknya menjadi latar belakang pengaruh Lugu?” “Di Kademangan Wadas Ireng terdapat banyak sekali anak-anak muda yang baik. Jauh lebih banyak dari mereka yang bertabiat buruk. Jika mereka segan turut campur, maka ada Ki Bekel di setiap padukuhan. Ada Ki Demang, para bebahu, terutama Ki Jagabaya.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai mengangguk-angguk. Sukra yang merasa bahwa kata-katanya mulai mengusik perasaan anak-anak Wadas Ireng itu pun kemudian berkata, “Pulanglah. Bawa Lugu pulang. Tetapi jangan dipukuli sepanjang jalan. Tetapi jika pada suatu saat ia mulai melakukan perbuatan yang buruk lagi, kalian dapat mencegahnya. Jangan takut. Ia bukan anak yang tidak terkalahkan. Kau lihat, ia tidak berdaya sekarang.” Anak-anak Wadas Ireng itu berpaling kepada Lugu yang masih sangat lemah. Pandangan mata mereka telah berubah. Anak-anak itu tidak lagi menganggap Lugu sebagai panutan yang harus diikuti segala perbuatan dan tingkah lakunya. “Pulang!“ tiba-tiba Sukra membentak, “Ingat kata-kataku. Dalam keadaan yang paling sulit bagi kalian, datanglah mengadu kepada Ki Jagabaya. Lugu dan kawan-kawannya tentu akan mendapat peringatan, dan bahkan jika perlu hukuman.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai beranjak. Dua orang anak yang membantu Lugu hampir saja melepaskannya. Tetapi Sukra berkata, “Bantu ia berjalan. Hati-hati.” Sejenak kemudian, maka anak-anak Wadas Ireng itu pun beringsut meninggalkan tepian. Dua orang anak masih membantu Lugu berjalan di tepian berpasir. Namun Sukra yakin bahwa kata-katanya berpengaruh terhadap anak-anak Wadas Ireng, sehingga mereka akan berani menentang setiap niat buruk Lugu, yang sebelumnya sangat berpengaruh atas anak-anak Wadas Ireng itu. Demikian anak-anak Wadas Ireng itu meninggalkan tepian, maka anak-anak padukuhan induk itu menarik nafas panjang. Mereka tidak perlu berkelahi untuk mengusir anak-anak nakal itu. Dada Sukra pun menjadi lapang. Sebenarnya ia masih merasa letih. Lugu ternyata seorang anak yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang sangat besar. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dari Sukra. Namun dalam pada itu, Sukra itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak perlu berkelahi. Bukankah kita orang baik dan berjiwa besar?” Tetapi seorang anak bertanya, “Tetapi kau sendiri berkelahi, Sukra.” Sukra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika aku tidak berkelahi, maka kalian semua akan berkelahi. Maka menurut pendapatku, lebih baik aku berkelahi seorang diri daripada kalian semuanya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, “Apakah pekerjaan kita memperbaiki pliridan sudah selesai?” “Hampir,” jawab seseorang. “Kita akan menyelesaikannya sebentar. Kemudian kita akan pulang. Kita tentu tidak akan dapat menutup pliridan di dini hari ini,” berkata Sukra. Anak-anak itu pun kemudian melakukan sebagaimana dikatakan oleh Sukra. Baru setelah pekerjaan itu selesai, maka anak-anak itu pun meninggalkan tepian, naik memanjat tebing dan melintasi tanggul, pulang ke rumah masing-masing. Beberapa di antara orang tua mereka bertanya, kenapa mereka terlalu lama bermain-main di sungai. Seorang ayah dengan marah bertanya, “Apa yang kalian lakukan sampai dini hari? Bagi mereka yang mempunyai pliridan, masih dapat dimengerti seandainya mereka menunggui pliridannya atau sengaja menutup pliridannya sekali lagi. Tetapi kau tidak mempunyai pliridan lagi.” “Kami membantu memperbaiki pliridan kawan-kawan, Ayah,” jawab anak-anak itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka hampir saja terlibat dalam perkelahian melawan anak-anak Wadas Ireng. Sukra yang kemudian dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan yang langsung menuju ke biliknya, memang tidak perlu membangunkan siapapun juga. Justru karena anak itu sering pergi ke sungai, maka Agung Sadayu sengaja membuat bilik baginya dengan pintu butulan tersendiri. Ketika kemudian fajar menyingsing, anak itu sudah sibuk sebagaimana biasanya. Iapun tidak mengatakan kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi di tepian. Namun ternyata kemudian peristiwa itu tersebar juga di antara anak-anak, dan bahkan akhirnya terdengar juga oleh orang-orang tua. Satu dua orang pengawal yang meronda, yang mendengar suara riuh di tepian, mengira bahwa suara itu sekedar suara anak-anak yang bermain dengan pliridan di sungai. Namun baru kemudian mereka ketahui bahwa hampir saja terjadi perkelahian antara anak-anak padukuhan induk itu dengan anak-anak Kademangan Wadas Ireng. Glagah Putih yang kemudian juga mendengarnya ketika ia berada di antara para pengawal, telah memanggil Sukra demikian ia pulang dari banjar. “Kau berkelahi?” bertanya Glagah Putih. Jawab anak itu tegas, “Ya. Tetapi jika aku tidak berkelahi, maka anak-anak yang berkumpul di tepian itu akan berkelahi semuanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kau masih melihat kemungkinan yang lain, maka kau tidak boleh berkelahi.” Sukra mengangguk. Tetapi sikapnya terhadap Glagah Putih memang sudah berubah. Dengan urut Sukra kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi di tepian. Menurut pendapatnya, jika Lugu telah dikalahkan, maka yang lain masih akan mungkin dicegah. Glagah Putih menepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau memang mempunyai alasan yang kuat, kenapa kau harus berkelahi.” Sukra mengangguk kecil. Sukra memang merasa lega bahwa ia tidak dianggap bersalah. Ternyata peristiwa itu telah mendorong Sukra untuk berlatih lebih bersungguh-sungguh. Ia merasa bahwa ilmunya akan berarti, justru untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Sementara itu, pada hari itu Kanthi nampak lebih banyak merenung. Ia memang sedang mengangkat beban baru di dalam hatinya. Ia harus menjawab pernyataan Wacana yang disampaikan lewat Rara Wulan. Meskipun Kanthi berusaha untuk tetap bersikap wajar sebagaimana sikapnya sehari-hari, namun orang lain masih dapat menangkap betapa Kanthi sedang mencari-cari jawab. Wacana sendiri juga merasa tegang. Hari itu Wacana berusaha untuk tidak bertemu dengan Kanthi. Dilakukannya pekerjaan apa saja di kebun belakang. Kemudian ikut Ki Jayaraga ke sawah, dan demikian ia pulang, maka ia telah menenggelamkan dirinya di dalam sanggar. Namun Kanthi sempat juga melihat kegelisahan dan ketegangan yang mencengkam perasaan anak muda itu. Karena itu, ia sadar bahwa ia tidak boleh terlalu lama memberikan jawaban. Di malam hari setelah makan malam, sementara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk-duduk di pendapa dan Wacana bersama Glagah Putih berada di serambi gandok, Sekar Mirah dan Rara Wulan setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor serta membersihkan ruang dalam, telah duduk pula sambil berbincang. Dengan hati-hati Rara Wulan memang mencoba memancing apakah Kanthi sudah mempunyai jawaban atas pernyataan Wacana. “Tentu Wacana tidak tergesa-gesa, Kanthi, karena ia tidak akan pergi kemana-mana. Tetapi nampaknya Wacana selalu dibayangi oleh kegelisahannya menunggu jawabmu,” berkata Rara Wulan kemudian, meskipun dengan agak ragu. Sementara itu Sekar Mirah bertanya pula, “Apakah masih ada yang harus dipikirkan? Kanthi. Jika kau sudah mengiakannya, maka sudah tentu Wacana akan melamarmu kepada orang tuamu. Bukan harus Wacana sendiri yang datang, tetapi bukankah ada Kakang Agung Sedayu. Ada pula Ki Jayaraga, yang agaknya mempunyai pekerjaan baru, melibatkan diri dalam persoalan anak-anak muda dalam hubungannya dengan gadis-gadis.” Rara Wulan tersenyum, sementara Kanthi pun berusaha menyembunyikan senyumnya itu. Namun desakan-desakan Rara Wulan dan Sekar Mirah itu memang mempercepat perenungan Kanthi menanggapi pesan Wacana itu. Karena itu, maka Kanthi tidak merasa perlu lagi menunda-nunda jawabannya, karena iapun kemudian sadar bahwa semakin cepat persoalan itu selesai dengan tuntas, akan semakin baik baginya. Karena itu, sambil menundukkan wajahnya, Kanthi akhirnya mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku akan menganggap baik mana yang Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan menganggap baik.” Wajah Rara Wulan-lah yang tiba-tiba menjadi ceria. Namun Sekar Mirah masih mendesaknya, “Aku ingin mendengar jawabmu Kanthi. Bukankah kau menerima Wacana untuk kelak bersama-sama memasuki dunia kekeluargaan?” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. Sambil mengangguk pula ia menjawab, “Ya, Mbokayu.” Tiba-tiba saja Rara Wulan memeluknya. Ternyata gadis itulah yang lebih dahulu menitikkan air mata. Namun titik-titik air mata itu telah memancing air mata Kanthi pula. Sekar Mirah-lah yang kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau telah menapak maju menjelang hari depanmu yang lebih baik, Kanthi.” Kanthi masih menunduk, sementara Rara Wulan mengguncangnya, “Tersenyumlah Kanthi. Kau akan menjadi semakin cantik.” Kanthi memang mencoba tersenyum. Tetapi justru titik air di mata Rara Wulan menjadi semakin deras, sehingga Kanthi pun tidak dapat menahan isaknya lagi. “Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “kita memang harus memandang hari depan dengan tengadah.” “Nanti aku akan menyampaikannya kepada Kakang Glagah Putih. Wacana harus segera mendengar jawaban ini. Aku sendiri yang akan mengatakannya kepada Wacana,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk kecil. Sementara Sekar Mirah berkata, “Katakanlah dengan hati-hati Rara.” Rara Wulan yang kemudian melepaskan Kanthi pun telah mengusap matanya. Kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan menemui Kakang Glagah Putih. Ia tentu berada di serambi gandok.” “Atau di sanggar,” desis Sekar Mirah. “Agaknya belum, Mbokayu. Bukankah Kakang Glagah Putih baru saja selesai makan bersama kita?” sahut Rara Wulan. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang belum.” Rara Wulan pun kemudian segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak keluar lewat pringgitan, karena ia tahu Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sedang duduk-duduk di pendapa untuk mendapatkan udara yang sejuk. Lewat pintu seketheng, Rara Wulan langsung menuju ke serambi gandok. Ketika Rara Wulan melihat Glagah Putih sedang duduk bersama Wacana, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk langsung menyampaikan jawaban Kanthi saat itu juga. Tetapi lebih dahulu Rara Wulan ingin berbicara dengan Glagah Putih. Karena itu, maka ketika ia turun dari pintu seketheng, iapun kemudian mendekati kedua orang itu sambil berkata, “Kakang Glagah Putih, Mbokayu Sekar Mirah ingin berbicara sebentar. Hanya sebentar.” Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Namun Rara Wulan kemudian berkata kepada Wacana, “Kakang Wacana. Jangan pergi.” Wacana mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan menunggu.” Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan hilang di balik seketheng, maka Wacana pun menjadi gelisah. Ia sudah menduga, bahwa Rara Wulan akan memberikan pesan-pesan Kanthi kepada Glagah Putih. Di dalam seketheng, Rara Wulan tidak mengajak Glagah Putih menemui Sekar Mirah. Tetapi ia langsung mengatakannya, bahwa Kanthi telah memberikan jawaban. “Apakah kau sependapat, jika aku sekarang menyampaikan jawaban Kanthi itu langsung kepada Wacana?” bertanya Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia kemudian berdesis, “Apakah tidak ada keseganan pada Wacana jika kau langsung mengatakan kepadanya?” “Bukankah itu lebih baik daripada harus lewat orang lain? Aku dapat menjelaskan pancaran perasaan Kanthi pada saat ia mengatakan jawabannya. Jika Wacana bertanya tentang Kanthi, maka aku akan dapat menyampaikannya langsung kepadanya.” Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau harus menjaga perasaannya.” “Perasaan Wacana tentu lebih mapan dari perasaan Kanthi,” sahut Rara Wulan. “Agaknya memang demikian,” desis Glagah Putih. Demikianlah, keduanya telah kembali keluar lewat seketheng. Rara Wulan memang berniat langsung bertemu dan berbicara dengan Wacana. Di pendapa, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk menghirup udara segar di ujung malam. Lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri membeku. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melihat Rara Wulan kemudian duduk bertiga bersama Glagah Putih dan Wacana. Mereka pun melihat Rara Wulan berbicara dengan bersungguh-sungguh. Sementara Wacana yang mendengarkannya nampak menjadi tegang. Sementara itu, Rara Wulan atas persetujuan Glagah Putih telah menyampaikan langsung jawaban Kanthi atas pesan Wacana. Ternyata Kanthi dapat menerima Wacana untuk kelak mengarungi gelombang kehidupan keluarga bersama-sama. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Tetapi kau harus menerimanya dengan ikhlas seperti apa adanya, Kakang Wacana. Kau sudah mengetahui sejak semula bahwa Kanthi sudah mengandung. Hendaknya hal ini tidak menjadi persoalan kelak, jika pada suatu saat sedang terjadi sedikit singgungan pada hati kalian berdua.” “Aku mengerti, Rara. Ketika tumbuh niatku untuk melamarnya, aku memang sudah mengetahuinya. Sehingga persoalan ini tidak akan menjadi sebab pertengkaran sehingga akan selalu diungkit-ungkit kembali, jika sedikit terjadi masalah di antara kami.” “Syukurlah,“ Rara Wulan mengangguk-angguk, “jika kedua belah pihak sudah mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing, maka masing-masing akan dapat mengendalikan dirinya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku mengucapkan selamat Wacana. Tetapi kesempatan ini bukan merupakan bagian akhir dari kehidupan masa depanmu, sehingga jalan yang akan kalian lalui berdua selanjutnya tidak selalu jalan datar yang halus dan rata. Tetapi kau dan Kanthi akan memasuki gejolak gelombang yang mengguncang hari-harimu.” “Ah, kau,” desis Rara Wulan, “darimana kau ketahui hal itu, Kakang?” Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berdesis, “Aku pernah menghadiri upacara pernikahan. Seorang yang berambut dan berjanggut putih telah memberikan nasehat kepada sepasang pengantin. Nah, sebagian aku tirukan nasehat itu.” Rara Wulan tertawa. Wacana yang tegang itu pun sempat tersenyum pula. “Jika hanya menirukan saja, semua orang dapat juga mengucapkannya,“ desis Rara Wulan kemudian. Wacana yang sudah tersenyum itu justru berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku akan mengingat nasenat itu baik-baik. Pada saatnya, aku akan menasehatkannya kepadamu kelak.” Ketiga orang itu tertawa hampir tidak tertahankan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang duduk di pendapa melihat ketiga orang yang tertawa di serambi itu. Sambil tersenyum Agung Sedayu berdesis, “Apa saja yang mereka bicarakan itu?” Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, “Tentu persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Agaknya mereka telah mendapatkan kesepakatan.” “Mudah-mudahan,” sahut Agung Sedayu, ”jika benar-benar keduanya sepakat, maka jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi Wacana dan Kanthi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita ikut mengucapkan syukur. Dua hati yang terluka, semoga dapat sembuh bersama-sama.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Nampaknya keduanya ikut merasa berbahagia menyertai Wacana dan Kanthi, yang hampir saja kehilangan jalan ke masa depanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Tetapi dalam waktu yang dekat ini, Angger Agung Sedayu akan disibukkan oleh pernikahan beberapa orang. Angger Prastawa, Angger Sabungsari dan kemudian Angger Wacana.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak bersamaan waktunya dengan waktu yang diperlukan oleh Pati.” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya, “Semuanya harus dilakukan segera. Jika tidak, maka waktunya memang akan diambil Kanjeng Adipati Pati.” Sementara itu, maka Wacana yang sudah mendapat jawaban dari Kanthi itu hatinya mulai mekar. Sekali-sekali memang terlintas wajah Raras yang menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Betapa ia merasa hatinya yang pepat karena ia telah menginginkan Raras untuk menjadi sisihannya. Tetapi semuanya itu sudah lewat. Kini hatinya telah hinggap pada seorang gadis yang pernah mengalami nasib yang buruk. Namun dalam pada itu, Wacana yang masih duduk di serambi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan itu berkata, “Tetapi siapakah yang akan pergi melamar kepada orang tua Kanthi? Keluargaku tinggal di tempat yang jauh. Ada pamanku di Mataram. Tetapi bukankah bagi keluarga Kanthi akan sama saja artinya, jika yang datang melamar itu bukan orang tuaku dan bukan pula pamanku? Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, misalnya?” “Aku kira sama saja, apalagi bagi Kanthi yang memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang karena keadaannya,” jawab Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan, “semakin cepat, semakin baik.” “Apakah kalian tahu, kapan Prastawa akan menikah?” bertanya Wacana. “Belum,” jawab Glagah Putih, “keluarga Anggrenilah yang akan menentukannya. Kakang Swandaru juga menunggu sampai kabar itu datang. Agaknya dalam dua tiga hari ini keluarga Anggreni akan memberikan ketentuan waktu itu.” “Apakah kau akan mengambil ancar-ancar dari hari pernikahan Prastawa?” bertanya Rara Wulan. “Tentunya jangan sampai terjadi pada hari yang bersamaan, meskipun dalam suasana yang jauh berbeda,” jawab Wacana. “Maksudmu?” bertanya Rara Wulan. “Prastawa adalah kemanakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan aku adalah orang kabur kanginan. Mungkin pernikahan Prastawa akan dilaksanakan dengan upacara adat selengkapnya serta keramaian yang meriah. Tetapi sudah tentu aku tidak akan demikian. Aku akan datang ke rumah Kanthi hanya dengan membawa tubuhku saja. Seperti kau lihat, di sini aku tidak mempunyai apa-apa.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada hal yang dapat dipertentangkan pada Wacana. Ia harus dengan cepat menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Kanthi. Tetapi sesudah itu, apa yang akan dilakukannya? Bagaimana Wacana akan dapat hidup dan menghidupi keluarganya, meskipun keluarga baru? Agaknya Wacana dapat membaca persoalan yang tumbuh di hati Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Glagah Putih. Sudah tentu setelah pernikahan, aku tidak dapat berada di sini sebagaimana sekarang ini, tanpa mempunyai landasan penghidupan sama sekali. Tetapi orang tuaku mempunyai beberapa kotak sawah yang dapat aku kerjakan untuk alas sebuah keluarga kecil yang sederhana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan lain justru timbul di dalam hatinya, “Lalu aku sendiri bagaimana? Apakah aku juga harus menyebut beberapa kotak sawah Ayah di Banyu Asri, jika saatnya aku berkeluarga, sementara Ayah sendiri berada di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing?” Namun pertanyaan yang timbul itu segera diredamnya di dalam hati. Demikianlah, Glagah Putih itu pun kemudian berkata pada Rara Wulan,“ Rara. Temuilah Kanthi, katakan apa yang telah kita bicarakan di sini.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu Wacana berkata, “Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Setelah semuanya selesai, aku akan segera pergi menemui keluargaku. Aku yakin bahwa tidak akan timbul masalah.” “Apakah aku juga harus menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih. “Bagaimana menurut pertimbanganmu?” Wacana justru bertanya pula. “Sebaiknya besok kita bersama-sama menemuinya,” berkata Glagah Putih kemudian. Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Besok kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan segala-galanya kepada Ki Lurah.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan serambi gandok, masuk ke ruang dalam tidak lewat pringgitan, tetapi masuk seketheng melewati longkangan dan masuk melalui pintu bululan untuk menemui Kanthi. Ternyata Kanthi masih duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah. Wajah Kanthi tidak lagi nampak muram. Sekali-sekali sebuah senyuman telah menghiasi bibirnya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana APIDI BUKIT MENOREH 4. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran. Penulis
APIDi Bukit Menoreh 1-52. API Di Bukit Menoreh 1. Mahabharata. KPH-PedangKilatPembasmiIblis-DewiKZ. Pelangi Di Singosari DewiKZ Bagian I Dan II TMT. Nag Abu Mi. Pedang Sakti Tongkat Mustika 01-05. Pedang Sakti Tongkat Mustika 6-11. ADBM-FLAM-397. Download now. Jump to Page . You are on page 1 of 476.
RelawanHILMI-FPI Masih Tetap Bertahan di Lokasi Bencana Banjir Bandang dan Tanah Longsor di Bogor. Berikut update korban : 3 orang meninggal dunia, 3 orang terluka dalam peristiwa banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di
Jumat 16 November 2007 Api di Bukit Menoreh 2 Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohin yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”
Apidi bukit Menoreh oleh: Mintardja, S.H Terbitan: (1993) Api di Bukit Menoreh oleh: Mintardja Terbitan: (2001) Api bukit menoreh I : jalan simpang oleh: MINTARDJA, S.H Terbitan: (1992) Api di bukit Manoreh oleh: Mintardja Terbitan: (1997) Opsi Pencarian Selama70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan 2d1n.
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/825
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/315
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/715
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/337
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/939
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/261
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/97
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/489
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/698
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/986
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/884
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/660
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/845
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/676
  • 1uq9y9p6bs.pages.dev/433
  • api di bukit menoreh 290